Judul: Reaktualisasi Nasakh Prespektif Sosiologis
Jurnal: Syariati
Penulis: Nashih Muhammad, Eko Sariyekti, Sumarjoko
Akreditasi:
Url: https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/syariati/article/view/2105
DESKRIPSI
Nāskh adalah salah satu gagasan paling relevan di sekitar aturan yang disediakan dalam Al-Qur’an yang menghubungkan firman Tuhan dengan kehidupan orang beriman (Abdullah Saeed, 2005:77). Naskh merupakan bagian penting dalam pengembangan metodologi Islam. Islam datang dengan membawa syariah baru dalam konteks sosial yang baru. Sebelumnya, syariah juga datang kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam konteks sosial yang berbeda.
Bahkan terkait jarak terdekatnya hingga lima abad. Dalam perspektif yang berbeda, orang-orang Yahudi menolak keberadaan hukum Islam yang menāsākh hampir semua permasalahan hukum mereka. Ketika syariat Islam datang, AlQur`An menāsākh hukum tentang bolehnya perkawinan antar saudara kandung. Allah mengganti hukum terdahulu dengan hukum baru yang lebih baik dan relevan dengan konteks perkembangan sosial saat al-Qur`an diturunkan.
Secara logis, larangan perkawinan antar saudara ini karena umat manusia saat ini telah berkembang pesat dan menjadi bermacam suku dan bangsa. Termasuk hukum terdahulu (syār`ū mān qāblānā) adalah, orang-orang Yahudi dilarang bekerja dihari Sabat. Kemudian larangan tersebut di-nāsākh oleh agama Nasrani menjadi hari Minggu dan Islam menggantikan hari-hari mulia itu dengan hari Jum’at. Sehingga Jum’at dinyatakan sebagai hari yang mulia atau sāyyidūl āyyām (Amir Syarifuddin, 1997, 219).
Nāsākh memiliki relevansinya terletak pada kenyataan bahwa, dalam kurun waktu yang sangat singkat 22 tahun, setidaknya beberapa dari ketentuan awal dalam Al-Qur’an berubah beberapa kali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Keadaan berubah, begitu pula keharusan moral, fakta yang diakui sampai batas tertentu dalam teori dan tradisi hukum Islam.
Pada prinsipnya, ulama Muslim menerima adanyanāsākh, tetapi terbatas pada syariat Islam terhadap syariat samawi sebelumnya. Adapun mengenai adanya nāsākh dalam syariat Islam terutama terhadap al-Qur’an para ulama terdapat perbedaan. Diskursus terhadap pergantian teks hukum (nāsākh) atau tidak adanya pergantian menjadi perdebatan dikalangan ulama fiqh (fuqaha). Persoalan ini sangat penting dalam sejarah perkembangan hukum Islam
INTERPRETASI
Secara etimologi, kata “ān-nāskhū” dalam bahasa Arab memiliki makna “menghilangkan (āl-Izālāh)” atau “meniadakan” (Muhammad ad-Dimyathi, 2009:32). Menurut sebagian ahli bahasa, kata “ān-nāskhū” ini termasuk kata “mūstārāk” atau memiliki makna ganda. Oleh karena itu terkadang kata “nāsākh” digunakan dalam arti “ān-nāqlū” yang berarti “memindahkan” atau “mengalihkan” sesuatu. Sebagian ulama menggunakan kata “ān-nāskhū” dengan arti “menghilangkan” dan “meniadakan” adalah bentuk makna hāqiqi sedangkan makna mājāzi-nya adalah “memindahkan” atau “mengalihkan”.
Sebaliknya ada juga yang menggunakan secara hāqiqi dalam arti “memindahkan” atau“mengalihkan” sedangkan mājāzinya adalah “menghilangkan” atau “meniadakan.”Pada prinsipnya, ulama Muslim menerima adanya nāsākh, tetapi terbatas pada syariat Islam terhadap syariat samawi sebelumnya. Adapun mengenai adanya nāsākh dalam syariat Islam terutama terhadap al-Qur’an para ulama terdapat perbedaan. Ulama jumhur menerima adanyanāsākhdalam al-Qur’an tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan ayat-ayat nāsikh dan mānsūkh-nya. Terkadang suatu ayat zhahirnya kontradiktif terhadap ayat yang lain, tetapi tetapi dapat dikompromikan. Meskipun demikian terdapat beberapa ayat yang kontradiktif dan tak dapat dikompromikan kecuali dengan nāsākh.
Nāsākh itu adalah menghentikan suatu hukum yang telah berlaku dengan digantikan hukum yang baru. Bolehnya nāsākh disyaratkan pada hukum yang pernah terlaksana. Terkadang suatu hukum belum diberlakukan kemudian diganti hukum yang baru. Imam Ahmad, beberapa murid asy-Syafi`i, ulama Zhāhiriyāhdan ulama kalamAsy`āriyāh, membolehkan terjadinya nāsākh dalam keadaan demikian.
EVALUASI
Berdasarkan telaah sejarah, nāsākh terhadap ayat-ayat al-Qur’an selalu menunjukkan adanya suatu kemaslahatan sosial yang selaras dengan keadaan umat manusia. Dalam perspektif sosiolgis, Allah selalu mempertimbangkan keadaan hamba-Nya. Semisal dalam larangan minuman “khāmr”, Allah melarangnya secara bertahap. Hukum minum “khamer” tidak secara langsung dilarang seketika. Tetapi keadaan mental orang Arab saat itu sangat diperhitungkan. Sehingga larangannya bersifat periodik. Pada awalnya “khāmr” itu hanya dijelaskan, bahwa manfaatnya lebih kecil dari madlaratnya sebagaimana dalam surat al Baqarah: 219. Kemudian turun lagi surat an-Nisa’: 43 menyindir seorang sahabat yang melakukan shalat dalam keadaan mabuk karena pengaruh “khāmr”. Akhirnya diturunkan lagi secara tegas sebagaimana dalam surat al-Maidah: 90 yang mengharamkan khamer. Hal tersebut telah diketahui dalam kajian ulum alQur’an dan ushul fiqh klasik
REKOMENDASI
Persoalan di-nāsākh atau tidaknya terkait muallaf ini adalah hasil penafsiran ulama yang mempertimbangkan konteks sosiologis umat Islam. Dimungkinkan pula pada masa-masa tertentu siklus sosial umat Islam kembali pada konteks yang sama karena menghadapi persoalan politik dan peperangan pada negeri Islam tertentu. Pada era kontemporer, saat umat Islam didapakan dengan imperalisme dan kolonialisme Barat yang mengakibatkan melemahnya umat Islam. Maka tidak menuntut kemungkinan akan berlaku sebagaimana pemberian bagian zakat kepada mualaf seperti pada zaman Nabi Muhmmad. Ini artinya konteks sosio antropogis berkaitan dengan konsep nāsākh yang didasarkan pada dalil aqli