Artikel

Efektifkah Sistem Zonasi dalam Perspektif Pendidikan?

Suasana Market Day di SDN Gajahmungkur 3

Judul: Kebijakan Sistem Zonasi dalam Perspektif Pendidikan 

Jurnal: JMSP (Jurnal Manajemen dan Supervisi Pendidikan) 

Penulis: Gunarti Ika Pradewi, Rukiyati

Akreditasi:

Url: http://journal2.um.ac.id/index.php/jmsp/article/view/8771/4873

DESKRIPSI

Sistem zonasi ialah sebuah kebijakan dalam lingkup pendidikan yang berlaku mulai tahun ajaran 2017/2018. Kebijakan ini dituangkan melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang penerimaan peserta didik baru pada TK, SD, SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat. Selain pemerataan akses, masalah yang ingin diselesaikan oleh kebijakan ini ialah pemerataan kualitas pendidikan. Dari kebijakan yang dikeluarkan, mendikbud ingin agar semua sekolah menjadi sekolah favorit (Pratama, 2017).

Dengan kata lain kebijakan zonasi dipandang sebagai sulusi untuk menyelesaikan dua masalah pokok pendidikan, yaitu pemerataan akses dan kualitas pendidikan. Pada hakikatnya pemerataan pendidikan memiliki dua dimensi yaitu keadilan dan inklusi (OECD, 2008:2). Kebijakan pemerintah mengenai zonasi ini diharapkan dapat memudahkan para siswa untuk dapat mengenyam pendidikan yang dekat dengan rumah.

Setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk dapat mengenyam pendidikan yang dekat dengan tempat tinggalnya. Maka dari itu wacana zonasi ini dicanangkan oleh pemerintah. Penerapan kebijakan sistem zonasi dalam PPDB diatur dalam Permendikbud No. 14 tahun 2018. Dalam peraturan tersebut disebutkan sekolah wajib menerima paling sedikit 90% siswa yang berdomisili di zona sesuai ketentuan pemerintah daerah. Hal ini berati sekolah menerima siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah. Dengan kata lain skema zonasi memungkinkan siswa untuk memilih bersekolah di dekat rumahnya (Mandic, et.al., 2017:1).

Adanya peraturan zonasi ini membuat para siswa tidak perlu menempuh jarak terlalu jauh untuk belajar. Kendati demikian peraturan zonasi tidak sejalan dengan harapan orang tua. Beberapa orang tua selalu menginginkan pendidikan terbaik untuk anaknya, dan biasanya sekolah favorit berada di pusat kota. Ketika kebijakan zonasi ini diberlakukan, siswa yang hendak bersekolah di pusat kota yang jauh dari tempat tinggal harus melalui beberapa jalur lainnya seperti jalur prestasi dan afirmasi. Meskipun demikian kuota untuk jalur prestasi dan afirmasi sedikit.

dalam penelitian yang dilakukan oleh Andini (2009) bahwa dalam memilih sekolah hal pertama yang paling menentukan ialah kualitas sekolah dan lokasi menjadi pertimbangan yang terakhir. Selanjutnya, sekolah yang berkualitas oleh masyarakat biasa dilabeli sebagai sekolah favorit. Berdasarkan hasil penelitian Amirin, dkk. (2016:1) menunjukkan faktor utama dalam memilih

INTERPRETASI

Pemberlakuan sistem zonasi oleh pemerintah yang dilakukan sejatinya bertujuan untuk memeratakan akses maupun kualitas pendidikan. Perspektif para pelaku pendidikan dalam hal ini guru dan kepala sekolah tentang zonasi meliputi: (1) zonasi memudahkan akses layanan pendidikan, Sistem zonasi tidak hanya memberikan kemudahan akses layanan pendidikan, tetapi juga menguntungkan siswa karena bisa menghemat waktu dan biaya untuk bersekolah. Hal ini karena siswa bisa bersekolah di dekat tempat tinggalnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Mandic, et.al. (2017:1) yang menjelaskan bahwa skema zonasi sekolah mampu memberikan kenyamanan bagi siswa untuk bersekolah di sekolah yang dekat dengan rumahnya. Disamping itu, Saporito (2017) menyatakan sebenarnya asumsi penerapan zonasi ini  ditujukan untuk meminimalkan biaya transportasi. Dari dukungan dua ilmuan itu maka dapat dikatakan bahwa zonasi selain memberikan kemudahan akses layanan pendidikan kepada siswa di sekitar sekolah, juga meminimalkan biaya transportasi bagi siswa. 

 (2) zonasi memeratakan kualitas sekolah, Perspektif lain selain memudahkan akses layanan pendidikan, zonasi juga dipandang mampu memeratakan kualitas sekolah. Hal ini tidak lepas dari variasi input siswa yang diterima oleh sekolah. Siswa yang diterima lebih variatif karena sekolah hanya menerima siswa yang berasal dari zona sekolah. Sehingga mau tidak mau, bagaimanapun keadaan siswa, asalkan ia berasal dari zona sekolah maka ia dapat diterima. Hal tersebut menyiratkan bahwa yang dimaksud pemerataan kualitas sekolah melalui 2 hal: pertama setiap sekolah memiliki kesempatan untuk memperoleh input siswa yang unggul. Kedua, dengan variasi siswa yang dihasilkan maka dapat menghilangkan label sekolah favorit yang selama ini menjadi pengkastaan dalam dunia pendidikan. (Gunarti Ika, 2019)

(3) zonasi menurunkan kualitas sekolah, Berbeda dengan perspektif sebelumnya, yang memandang zonasi bisa memeratakan kualitas pendidikan, perspektif ketiga sebaliknya, memandang zonasi menurunkan kualitas sekolah. Penurunan kualitas sekolah tersebut terjadi karena sekolah tidak lagi bersaing menjadi sekolah favorit, seperti yang diungkapkan GC4 berikut: “Ditetapkanya sistem zonasi membuat sekolah menjadi sama. Jika semua sekolah sama maka dikhawatirkan tidak memotivasi sekolah untuk menjadi unggulan atau favorit”(Gunarti Ika, 2019) Ketika sistem zonasi diberlakukan pemerintah berharap tidak ada lagi sekolah favorit dan sekolah buangan. Jadi semua lembaga pendidikan memiliki nilai yang sama.

 (4) zonasi tidak cocok ditetapkan di tingkat SMA, terdapat pandangan bahwa sistem zonasi tidak cocok diterapkan pada jenjang SMA. Hasil lapangan menunjukkan bahwa kebijakan zonasi baik diterapkan unuk level sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Kalau untuk level sekolah menengah atas tidak tepat”. Beberapa guru berpendapat sistem zonasi lebih cocok diterapkan untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Pendapat tersebut tentu bertolak belakang dengan praktik pelaksanaan sistem zonasi di negara-negara lain. Di Jepang misalnya Sieja (2017) menjelaskan  sistem zonasi sekolah mengatur siswa-siswi dari lingkungan tertentu untuk bersekolah di sekolah umum baik tingkat SD, SMP atu SMA. Dengan demikian dapat dikatakan pelaksanaan zonasi di Indonesia baru dilaksanakan di tingkat SMA karena kebijakan ini merupakan kebijakan baru dan dilaksanakan secara bertahap. 

(5) sistem zonasi membatasi siswa memilih sekolah, Salah satu tujuan dari sistem zonasi adalah supaya siswa dapat mendapat sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Sedangkan ini akan menjadi dilema tersendiri untuk siswa yang ingin mengembangkan sayap untuk mengenyam pendidikan yang jauh dari tempat tinggalnya. Terkadang jurusan yang diminati tidak ada ataupun beberapa problem lainnya.

(6) kebijakan zonasi harus disertai pemerataan sarana dan prasarana pendidikan. Pemerataan akses layanan pendidikan yang menjadi tujuan sistem zonasi hendaknya juga disertai pemerataan sarana prasarana pendidikan. Hal tersebut senada dengan kondisi di lapangan bahwa niat pemerintah untuk percepatan pemerataan dirasa cukup bagus karena berkaitan dengan infrastruktur di sekolah disamakan dulu sehingga apabila menginginkan adanya pemerataan sarana prasarana pendidikan untuk mendukung pemerataan kualitas pendidikan bisa melalui sistem zonasi akan tetapi juga disertai upaya pemerataan sarana prasana. (Gunarti Ika, 2019)

 (7) zonasi merusak kebhinekaan. (Gunarti Ika, 2019) Pemberlakuan sistem zonasi, di satu sisi ingin mempermudah akses layanan pendidikan bagi masyarakat sekitar sekolah, di sisi lain membuat masyarakat menjadi terkelompok dalam lingkunganya masing-masih. Hal inilah yang membuat zonasi dipandang merusak kebhinekaan. Hal lain yang sejalan yaitu bahwasannya kebijakan zonasi merusak kebhinekaan karena komposisi siswa di sekolah hanya siswa-siswi yang berasal dari lingkungan sekolah saja yang mana sistem ini  dirasa bertolak belakang dengan tema multikultural atau kebhinekaan yang diangkat oleh pemerintah. Padahal tema tersebut muncul dan diaplikasikan dalam pendidikan. Beberapa guru menganggap sistem zonasi bertolak belakang dengan tema multikultural atau kebhinekaan yang diangkat oleh pemerintah. Padahal tema tersebut muncul dan diaplikasikan dalam pendidikan. 

Menurut hemat peneliti, sebenarnya berbeda antara multikultural yang diangkat dalam pendidikan dengan multikulturalisme yang hilang dari sistem zonasi. Kaitanya dengan pendidikan multikultural, masih tetap bisa dijalankan meskipun siswa yang berpartisipasi merupakan siswa se zona. Terlebih  Indrapangastuti (2014: 13)  mengungkapkan: “peran guru dalam pelaksanaan pendidikan multikultural meliputi: membangun paradigma keberagaman inklusif di lingkungan sekolah, menghargai keberagaman bahasa di sekolah, membangun sikap sensitif gender di sekolah, membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur”.  

EVALUASI

Setiap kebijakan yang dibuat selalu menuai pro dan kontra. salah satunya adalah kebijakan zonasi ini. Terlepas dari berbagai faktor yang ada pemerintah juga harus mempertimbangkan para siswa yang berada jauh dari berbagai sekolahan. Khususnya di desa sekolahan hanya terletak di pusat kecamatan, sehingga siswa yang berada jauh dan di pinggiran kesulitan mendapat sekolah. Alhasil mereka harus masuk ke sekolah swasta yang membutuhkan biaya lebih mahal. 

REKOMENDASI

Diputuskannya sistem zonasi harus dapat menguntungkan segala pihak, khususnya para siswa yang hendak mengenyam pendidikan. Mereka harus dijamin sarana dan prasarana guru yang berkompeten dan juga sistem pembelajaran yang memadai. Setiap tahun sistem ini harus dikaji ulang. Dicari plus dan minusnya sehingga dapat senantiasa berbenah untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. 

Anisa Rachma Agustina

Tinggalkan Balasan