Jakarta , DISTINGSI.com – Beberapa waktu lalu, banyak pengguna media sosial di Indonesia mengeluhkan tingginya pajak impor, imbas dari peraturan baru Bea Cukai terkait jumlah barang yang bisa dibawa pulang dari luar negeri. Topik ini seketika viral dan menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Warganet bahkan menyebut Bea Cukai dengan singkatan ‘Becuk’, yang merujuk pada kinerja yang kurang memuaskan.
Melalui platform X/Twitter, Staf Menteri Keuangan Indonesia, Prastowo Yustinus, meminta masukan warganet tentang apa yang perlu diperbaiki dari perubahan kebijakan tersebut, agar sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Setelah menerima sejumlah saran, pemerintah memutuskan membatalkan kebijakan kontroversial tersebut — jumlah barang yang dibawa oleh warga negara Indonesia dari luar negeri tidak lagi dibatasi.
Masyarakat Indonesia kemudian menyebut keputusan tersebut sebagai “kebijakan berbasis viral”. Di X/Twitter pun muncul anggapan, “Kalau tidak ‘ramai’ dan viral, maka pemerintah tidak akan mengambil tindakan.”
Teori dasar kebijakan berbasis viral
Istilah “kebijakan berbasis viral” identik dengan konotasi negatif, dimana banyak orang beranggapan sebuah isu akan segera ditangani jika terus menerus menjadi topik perbincangan di pemberitaan dan juga media sosial.
Meski begitu, para pembuat kebijakan diharapkan memiliki pemahaman ilmiah terkait isu-isu tersebut, dan tahu “cara efektif” untuk menyelesaikannya.
Pertanyaannya, apakah para pembuat kebijakan mampu memahami dan menginterpretasikan isu terkait dengan tepat? Lalu, bagaimana mereka menerapkannya ke dalam kerangka kebijakan nyata?
Penelitian menunjukkan para pembuat kebijakan kurang mampu mengenali solusi yang tepat untuk menangani isu tertentu. Mereka cenderung menggunakan “jalan pintas” untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi pentingnya suatu masalah, seraya menimbang apakah perlu ada intervensi kebijakan atau tidak.
Sebagai contoh, dalam hasil studi berjudul Agenda Setting in Public Policy (2007), penulis berpendapat bahwa pemerintah bisa saja mengemas sebuah isu untuk menjadi agenda mereka saat menyusun kebijakan.
Dengan begitu, para pembuat kebijakan perlu membuat isu tersebut menjadi lebih penting dan menarik perhatian publik agar kemudian dapat disahkan.
Teori Kerangka Koalisi Advokasi (ACF) turut menekankan peran penting koalisi atau kelompok masyarakat dalam mendorong isu-isu tertentu masuk ke dalam agenda kebijakan.
Teori ini mengemukakan bahwa kebijakan dapat mengundang perhatian pemerintah melalui berbagai cara, tidak hanya melalui penerapan bukti ilmiah secara sistematis yang cenderung mengatasi masalah dan menawarkan solusi secara linear.
Amanda Tan, kandidat PhD Public Policy, Monash University, Indonesia berpendapat bahwa istilah “kebijakan berbasis viral” ini sesuai dengan pemikiran realistis dalam proses pembuatan kebijakan, di mana penerapan laporan dan bukti ilmiah tidak selalu menjadi faktor penentu utama yang mempengaruhi hasil instrumen kebijakan.
Suara rakyat yang disampaikan melalui advokasi dan kampanye publik dapat berkembang menjadi “opini publik”, yang bisa memengaruhi proses pembuatan kebijakan.
Kebijakan berbasis viral: Apakah tepat?
Meskipun pembuatan kebijakan berbasis viral belum bisa disebut ideal, namun tetap bisa diandalkan. Sebuah isu yang viral bisa menandakan ketidaksesuaian suatu kebijakan terhadap kondisi riil masyarakat yang selama ini mungkin luput dari perhatian pemerintah, sehingga berpotensi menghasilkan kebijakan yang kurang tepat.
Pembelajaran kebijakan melalui masukan dan umpan balik dari masyarakat kini diakui sebagai salah satu cara dalam merumuskan kebijakan publik, yang ditandai dan didorong oleh peningkatan aktivitas media sosial.
Para ahli juga berpendapat bahwa informasi terkini dari masyarakat dan organisasi non-pemerintah berperan penting dalam mendorong reformasi kebijakan atau perubahan kebijakan yang sudah ada.
Metode ini memungkinkan proses pembuatan kebijakan partisipatif jangka pendek yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Walaupun pendekatan jangka pendek tidak selalu memberikan dampak yang besar, metode ini tetap bermanfaat untuk mengumpulkan masukan secara lebih intensif. Ini dikarenakan para pembuat kebijakan sendiri kerap meminta masukan dan memberikan masyarakat kesempatan untuk menyisipkan bukti dan informasi yang dibutuhkan.
John W. Kingdon, salah seorang ahli politik terkemuka dunia, dalam karya ilmiahnya yang berjudul Multiple Streams Framework (1982), menyebut bahwa kombinasi kebijakan (kebutuhan akan instrumen baru), politik (perubahan sikap pembuat kebijakan), dan masalah (keterbatasan sumber daya) menciptakan momentum untuk reformasi kebijakan, yang juga dapat berarti kembali ke status quo atau kebijakan sebelumnya.
Namun, untuk menciptakan kebijakan yang ideal, diperlukan keterlibatan masyarakat yang mendalam. Semakin aktif dan terstruktur partisipasi masyarakat, semakin besar kemungkinan kebijakan yang dihasilkan akan selaras dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Keterlibatan masyarakat yang singkat dalam memberikan masukan memiliki risiko tersendiri. Sebuah kebijakan idealnya membutuhkan waktu evaluasi yang lebih panjang. Apabila prosesnya terburu-buru, maka berpotensi menimbulkan reaksi negatif dan memicu kemarahan masyarakat terhadap pemerintah.
Haruskah praktik ini dilanjutkan?
Proses pembuatan kebijakan di Indonesia, terutama dalam menyusun undang-undang, berlangsung secara terstruktur, terencana, dan terukur. Dimulai dari penyusunan agenda, pembuatan laporan akademis yang menjelaskan urgensi solusi atas suatu masalah, hingga evaluasi berbagai opsi kebijakan.
Faktanya, penelitian di tahun 2018 menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan di Indonesia tidak selalu mengikuti alur yang jelas dan terstruktur. Penetapan agenda terkadang bisa terjadi di tengah proses pembuatan kebijakan, sehingga menimbulkan beberapa kali revisi. Sejumlah studi sebelumnya pun menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan yang ideal jarang tercapai di Indonesia.
Adapun, di saat yang sama, pihak yang aktif terlibat menjembatani pengumpulan bukti dan pembuatan kebijakan semakin banyak. Mereka berperan sebagai mediator yang menghubungkan para pemangku kepentingan untuk menggali perspektif yang menunjukkan urgensi dari suatu isu.
Viralitas di media sosial dapat menjadi sinyal bagi pembuat kebijakan untuk segera mengambil tindakan dan melakukan reformasi kebijakan. Maka, meski tidak selalu ideal, praktik ini tetap memiliki nilai tersendiri dalam meningkatkan kesadaran publik dan mendorong perubahan.
Dalam hal ini, peran keterlibatan publik bisa menjadi peluang untuk mengubah kebijakan, terlebih jika dilakukan secara berkala, transparan, dan konsisten saat implementasi kebijakan. Menariknya, peran aktif warganet dalam proses pembuatan kebijakan juga dapat dilihat sebagai strategi kreatif dalam membantu pemangku kepentingan mendapatkan dukungan publik untuk tujuan politik mereka.
Namun, jika kontroversi ini tidak dikelola dengan baik melalui strategi yang terencana dan langkah pembenahan yang matang, maka berisiko merusak kredibilitas pemerintah dan legitimasi kebijakan yang ada, sehingga mengurangi nilai kebijakan bagi masyarakat yang terkena dampaknya.
Karena itu, untuk menjaga legitimasi sebuah kebijakan, para pembuat kebijakan harus berperan krusial dalam mengidentifikasi, menentukan, dan mencari solusi yang tepat sasaran. Kemampuan analisis inilah yang hilang dalam proses ini, sehingga mendorong tren viral menjadi cara yang umum digunakan oleh masyarakat.
Maka, meski tren viral ini bisa dimanfaatkan, pemerintah bertanggung jawab memahami dan menganalisis isu-isu yang muncul, serta menyadari kebutuhan mendesak untuk mengatasinya melalui kapasitas kebijakan yang mumpuni.
Artikel ini ditulis oleh Anne Aprina Priskila, seorang kandidat Master of Public Policy and Management di Monash University, Indonesia.