Oleh Hamidulloh Ibda
Keluarga merupakan surga bagi anak-anak. Jika ada keluarga yang tidak menjamin keselamatan dan kenyamanan anak, maka keluarga itu gagal mewujudkan prinsip sakinah, mawaddah, warahmah. Di sini, keluarga tidak sekadar “rumah” yang berisi bapak, ibu dan anak. Keluarga merupakan institusi kecil dalam masyarakat yang berkaitan erat dengan fungsi edukasi, sosial, dan jaminan masa depan anak. Sukses dan tidaknya anak-anak belajar dan berkarir sangat ditentukan kondisi keluarga.
Perlindungan anak dimulai dari keluarga. Tema ini berawal karena kesadaran keluarga Indonesia untuk mengasuh anak masih minim. Apalagi, keluarga merupakan awal pembentukan kematangan berpikir anak. Tidak hanya saat balita, ketika jabang bayi dalam kandungan membutuhkan pengawalan. Dalam tradisi Jawa, bayi sebelum dilahirkan selalu dijaga keselamatannya. Saat ibu mengandung, sang ayah dilarang menyakiti/menyiksa hewan, berkata-kata buruk, karena akan berdampak pada kelahiran jabang bayi. Meski bagi orang modern hal itu hanya mitos atau gugon tuhon, namun banyak kejadian anak lahir cacat karena orangtuanya melanggar pantangan tersebut.
Ketika usia janin sudah empat bulan, orang Jawa juga melakukan tradisi ngapati dan usia tujuh bulan melakukan mitoni atau tingkeb. Tradisi ini juga wujud harapan keselamatan bayi pada Tuhan. Setelah lahir lima hari, orangtua juga menggelar tradisi sepasar dan ketika usia tiga puluh lima hari, digelar selapanan. Tradisi sepasar, biasanya dibarengkan dengan akikah, potong rambut, dan pemberian nama anak.
Tradisi Jawa di atas merupakan manifestasi ajaran Islam yang menyeru pada umatnya untuk melakukan pendidikan pada anak sejak dalam kandungan. Sebab, Nabi Muhammad dalam hadistnya menyatakan tiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci). Mau dijadikan hitam, putih, biru, hijau, semua bergantung orangtuanya.
Teori psikologi modern menjelaskan ketika anak-anak masih di kandungan sudah bisa merespon suara, lagu, getaran dan kejadian dari luar. Alfred Tomatis (1920-2001) menyebut bahwa musik yang melodi dan frekuensinya tinggi mampu merangsang, memberdayakan daerah kreatif dan inovatif di otak anak dalam kandungan. Dalam buku “Great Book About Music”, Abu Nasr Alfarabi (873-950 SM) menjelaskan musik yang baik bisa mengendalikan emosi, memberi rasa tenang, mampu mengatasi ganggungan psikologis dan mengembangkan spiritualitas.
Bahasa yang baik kepada bayi di kandungan juga bisa memberi pengaruh positif. Maka banyak terapi yang dilakukan ibu dan bapak dengan mengajak bayi berkomunikasi. Zulaeha (2014) menjelaskan bahasa memiliki kekuatan magis. Jika bahasa, suara, atau lagu yang didengar bayi memiliki muatan positif, maka akselerasi bayi juga positif, begitu pula sebaliknya. Maka baik dan buruknya perkembangan bayi sangat ditentukan rangsangan dari luar.
Pendidikan Keluarga
Sekitar dua tahun lalu, ada seorang teman berkomentar pada saya. “Kalau buat nama anak yang bisa nyelameti (menyelamatkan) gitu lo,” kata teman saya kala itu. Hal tersebut ia katakan karena saat itu istri saya sedang mengandung usia tujuh bulan. Saya menyimpulkan, pemberian nama anak tidak sekadar nomenklatur dan administratif, namun erat kaitannya dengan kesalamatan, rezeki, umur, dan masa depan anak.
Bahkan banyak orang berganti nama karena nama pemberian orangtuanya dianggap “berat” dan tidak membawa berkah. Falsafah Jawa menyebut asmo kinaryo jopo yang artinya nama itu adalah doa atau harapan. Apakah cukup memberi nama? Tentu tidak. Anak-anak sampai dewasa bahkan mati adalah tanggungjawab orang tua.
Di era modern ini, tradisi-tradisi di atas mulai dianggap tak penting. Orangtua juga tidak lagi memahami posisinya sebagai “guru pertama” bagi anak-anaknya. Mereka hanya memberi pemenuhan materi di wilayah sandang, pangan dan papan saja.
Sementara kebutuhan pendidikan, asupan karakter, dan moral anak tidak begitu penting, terutama bagi orangtua yang tinggal di perantauan. Sejak pagi, anak-anak berada di penitipan anak dan sekolah. Ketika pulang sekolah, mereka diantar ke bimbel sampai sore, sedangkan orangtua ketika sore hari sudah lelah karena bekerja sehari penuh.
Pola seperti ini sudah lazim bahkan gaya hidup modern mengharuskan anak-anak diperlakukan “tidak humanis” seperti itu. Ketika malam di rumah, ketika anak-anak atau balita ketika rewel atau menangis, orangtua memberikan gadget. Akibatnya, anak-anak menjadi “generasi milenial” yang sudah akrab dengan dunia maya.
Mereka lebih dekat dengan Youtube, game, medsosdan lainnya. Kondisi ini sangat ironis. Anak-anak yang seharusnya menjadi makhluk sosial, luwes, egaliter, namun sejak dini dididik menjadi “generasi kaku” karena diberi konsumsi gadget berlebihan. Bagaimana anak bisa berkarakter dan keselamatannya terjamin jika asupan edukasi dan karakter dipasrahkan pada lembaga formal? Ditambah lagi, metode mengasuh anak digantungkan pada gadget.
Kekerasan anak tidak hanya di wilayah fisik, namun juga kekerasan verbal dan budaya. Pengaruh bahasa buruk, adegan kekerasan di Youtube, sangat berdampak pada ujaran kasar pada anak-anak. Mereka mudah misuh (marah) dan tidak bisa berbahasa halus kepada orang yang lebih tua.
Jaminan Keselamatan
Data Global Status Report on Violence Prevention pada 18 Mei 2015 menyebutkan, dari 133 negara ada sekitar 250.000 kasus pembunuhan anak. KPAI juga melaporkan, sepanjang 2016 ada 930 aduan pelanggaran hak anak. Sampai Mei 2017, ada 400 tindakan pelanggaran. Sementara pengaduan di bidang anak berhadapan dengan hukum, kurun 2015-2016 sebanyak 8.470 kasus (Tempo.co, 27/5/2017).
Hampir tiap anak saat ini mengenyam pendidikan formal. Mereka juga mendapatkan asupan materi agama dari TPA, masjid, gereja, wihara dan tempat lainnya. Mengapa kekerasan anak masih menjamur? Bahkan, saat ini banyak kekerasan menjadi “hal wajar” yang disebar luar di medsos.
Jaminan keamanan dan kenyamanan harus kontinu, kapan saja dan di mana saja. Keamanan bukan tugas polisi, satpam, bukan pula BPJS. Keamanan menjadi tugas bersama dan yang paling utama adalah orangtua.
Dalam rumus Tri Pusat Pendidikan, keluarga menjadi lingkup pendidikan pertama sebelum sekolah dan masyarakat. Adanya anak-anak nakal, terkena bullying (perundungan), dan radikalisme adalah kesalahan orangtua.
Tidak hanya di kota, saat ini di desa banyak anak jalanan, pengamen, komunitas punk yang meresahkan warga. Mereka tidak salah sepenuhnya. Sebab, mereka tidak mendapatkan jaminan “keamanan” dan “kenyamanan” dari keluarga.
Berawal dari ikut-ikutan nonton konser musik, sepakbola, mereka kemudian menjadi brutal, liar dan radikal. Bahkan tak sedikit yang ikut geng motor dan menjadi begal. Belum lagi, kasus anak bunuh diri, terlantar di jalan yang sumbernya dari keluarga.
Keluarga jangan sampai menjadi “neraka” bagi anak. Sebab, keluarga menjadi tempat mendapatkan pendidikan, penyemaian karakter kelembutan dan kasih sayang pertama kali. Keluarga ramah anak harus dimulai sejak dini. Sebelum nikah, pasangan suami istri harus matang berbagai hal. Mulai matang umur, psikis dan ekonominya.
Tidak sedikit anak-anak menjadi korban broken home lantaran orangtua mereka ekonominya susah. Dampaknya, pendidikan anak kacau, ngaji agamanya semrawut, ditambah luka psikis karena orangtua sering bertengkar di rumah.
Keluarga hakikatnya adalah raudhah athfal (taman kanak-kanak) bagi anak-anaknya. Sedangkan jenjang sekolah formal menjadi “tambahan” untuk melegitimasi anak-anak agar punya ijazah untuk mencari pekerjaan.
Asupan kognitif (sikap), karakter, moral, akhlak, justru lebih dominan dalam keluarga daripada sekolah formal. Sebab, kebanyakan sekolah formal hanya di wilayah kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan).
Secara humanis, tidak ada orangtua yang ingin anaknya susah, rusak mentalnya, dan terkena perundungan. Sudah saatnya keluarga ramah anak dibumikan sejak dini. Sebab, jika anak-anak tidak mendapatkan surga dalam keluarga, lalu di mana lagi mereka mendapatkan surga? Bukankah rumahku adalah surgaku?
-Dr. Hamidulloh Ibda, Penulis adalah Pengajar Pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung