Cerpen

Mahmud yang Durhaka

Ilustrasi Liputan6.com

Oleh Hamidulloh Ibda

Bulan berkilau di langit malam saat Erna melangkah ke dalam ruangan tamu yang sepi. Suasana hening di rumahnya mengingatkan dia pada waktu-waktu bahagia yang pernah dia bagi dengan anak laki-lakinya, Mahmud. Tetapi sekarang, semuanya telah berubah.

Malam mendekap. Kampung terlelap. Dalam hati Erna, kenangan indah mereka masih mengalir begitu indah. Mahmud dulu adalah anak yang penyayang, ceria, dan selalu berbagi cerita dengan ibunya. Ia pun sangat serius dalam mencintai Erna. Namun, belakangan ini, semuanya telah berubah. Mahmud yang dulu begitu dekat dengannya kini telah menjauh.

Suara langkah kaki pelan di belakang Erna membuyarkan lamunan. Mahmud masuk ke ruangan itu dengan pandangan yang datar. Wajahnya yang dulu ceria kini tampak pucat dan dingin.

“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Erna, mencoba meredakan ketegangan di udara.

Mahmud duduk di sofa tanpa menjawab. Erna bisa merasakan getaran dingin di udara, dan dia tahu bahwa ini adalah momen yang dia tunggu-tunggu, bahkan jika itu adalah momen yang menyakitkan.

“Mahmud, apa yang terjadi?” Erna berbicara dengan lembut, mencoba meraih hati anaknya. “Kita dulu begitu dekat, sekarang kamu seperti orang asing bagiku.”

Mahmud menatap ibunya, dan dalam matanya terlihat sentuhan penyesalan yang sedalam lautan. “Ma, aku…” Dia terdiam, sepertinya sulit baginya untuk mengucapkan kata-kata berikutnya.

“Katakan saja, sayang,” Erna mendesak.

“Ma, aku mencintaimu, tetapi aku perlu mengejar impianku. Aku ingin keluar dari rumah ini, pergi ke luar negeri, dan mengejar karier di dunia musik. Aku butuh kebebasan.”

Erna terdiam sejenak, merenungkan kata-kata anaknya. “Tentu, sayang, impianmu penting, tapi kamu harus tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Erna tahu ini bukan akhir dari perasaannya yang tersakiti, tetapi dia harus memberikan kebebasan kepada anaknya. Namun, dalam hatinya, perpisahan ini adalah luka yang dalam.

***

Berbulan-bulan berlalu, dan Mahmud meninggalkan rumah untuk mengejar impiannya di dunia musik. Erna merasa kehidupannya menjadi semakin sepi tanpa kehadiran anaknya. Dia mencoba untuk memahami, tetapi perpisahan itu masih menyakitkan.

Tidak ada kabar dari Mahmud selama beberapa bulan, dan Erna merasa semakin terasing dari anaknya. Kecemasannya hanya bertambah ketika dia mendengar kabar buruk tentang anak-anak muda yang berjuang di industri musik.

Suatu malam, ketika Erna sedang duduk sendirian di ruang tamu, pintu rumah terbuka dan langkah kaki berat terdengar di ruangannya. Mahmud muncul, wajahnya yang dulu ceria sekarang tampak lelah dan tersiksa.

“Sayang, aku telah melakukan kesalahan besar,” katanya dengan suara yang gemetar.

Erna merasakan rasa cemas yang mendalam dan menghampiri anaknya. “Apa yang terjadi, sayang?”

“Kehidupan di dunia musik tidak semudah yang aku kira,” kata Mahmud. “Aku harus menghadapi tekanan, pengorbanan, dan godaan yang besar. Aku kehilangan arah.”

Erna merasa air mata menitik dari matanya. “Aku selalu di sini untukmu, Mahmud. Kita bisa melewati ini bersama-sama.”

Mereka berpelukan, dan Erna merasa lega melihat anaknya kembali. Meskipun itu adalah momen yang penuh kesakitan, dia merasa hubungan mereka semakin kuat.

***

Bulan demi bulan berlalu, dan Erna membantu Mahmud melewati masa-masa sulit dalam karier musiknya. Mereka berbicara, tertawa, dan kadang-kadang menangis bersama. Erna tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, tetapi hubungan mereka telah pulih.

Erna tidak lagi merasa tersakiti oleh anaknya. Dia belajar bahwa memberikan kebebasan adalah salah satu bentuk cinta terbesar. Bagi Mahmud, menyadari bahwa ibunya akan selalu ada untuknya adalah hadiah terbesar dalam hidupnya.

***

Hamidulloh Ibda adalah seorang dosen, peneliti, aktivis pendidikan, jurnalis, esais dan belakangan menekuni sastra. Fokus penelitiannya adalah pada literasi, literasi digital, pedagogi digital, sekolah dasar, bahasa anak, dan sastra. Beliau adalah dosen di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Indonesia, dan kandidat doktoral di Jurusan Pendidikan Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia. Beliau merupakan reviewer internasional di beberapa jurnal, yaitu Pegem Egitim ve Ogretim Dergisi – Scopus Q4 (2023-sekarang), Cogent Education – Taylor & Francis – Scopus Q2 (2023-sekarang), Journal of Ethnic and Cultural Studies – Scopus Q1 (2023-sekarang), Journal of Learning for Development (JL4D) Scopus Q3 (2023-sekarang), International Journal of Information and Education Technology (IJIET) Scopus Q3 (2023-sekarang), Millah: Jurnal Studi Agama – Scopus (2023-sekarang), International Journal of Learning, Teaching and Educational Research (IJLTER) – Scopus Q3 (2023-sekarang), International Journal Ihya’ ‘Ulum al-Din (2023-sekarang), International Review of Research in Open and Distance Learning (IRRODL) – Scopus Q1 (2023-sekarang), Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran (EduLearn) – Scopus Q4 (2023-sekarang), IJSL: International Journal of Social Learning (2023-sekarang), Anggota Dewan Editorial di Global Synthesis in Education (GSE) (2023-sekarang), reviewer Qeios Journal (2023-sekarang), dan beberapa jurnal ilErnah lainnya.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan