Artikel

Melestarikan Wastra Aceh

Ilustrasi Damay Ar-Rahman

Oleh Damay Ar-Rahman

Wastra Aceh merupakan kain tradisional  asal Aceh. Wastra Aceh dapat menumbuhkan perpaduan antar budaya dan mengeratkan status sosial di masyarakat. Wastra telah ada sejak abad ke 16 saat masuknya pendatang dari negara luar. Dalam sejarahnya, wastra dahulunya tidak hanya digunakan sebagai pakaian, tetapi memiliki makna yang menyalurkan nilai-nilai kearifan lokal dan sosial. Terdapat beberapa jenis wastra yang terkenal yaitu batik dan tenun. Hal yang paling menarik diperhatikan dalam wastra adalah corak-coraknya. Setiap daerah memiliki motif tersendiri dalam wastra yang dihadirkan. Terdapat bahan sutra yang menjadi andalan wastra khususnya bagi masyarakat kalangan atas.  Sutra merupakan salah satu wastra yang erat dengan status kepemilikan  atau latar belakang seseorang karena dianggap memiliki nilai jual tinggi dan hanya kalangan tertentu saja  dapat menggunakan. Berbeda pada wastra biasa, sutra lebih bernilai tinggi.

Untuk motif-motif wastra, keindahan yang dimiliki berawal datangnya China dan India. Masyarakat lokal masih menggunakan cara kuno dalam mendesain wastra dan belum mengetahui cara mengkreasikannya. Padahal, banyaknya ide yang dimiliki hanya saja kurang dalam fasilitas. Setelah mempelajarinya dari negara-negara luar, masyarakat lokal mulai berinovasi dalam pembuatan wastra secara lebih baik. 

 Indonesia memiliki keanekaragaman termasuk pada wastra. Wastra Aceh memiliki banyak versi  dan yang paling dikenal adalah songket Aceh. Wastra-wastra Aceh dapat dilihat dari motif-motifnya yang indah diambil berdasarkan berbagai keanekaragaman alam seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Selain itu, diukir dalam bentuk kaligrafi  namun corak  yang dipakai tidak bertentangan dengan agama.

Sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, wastra telah dikembangkan terutama pada kalangan wanita. Mereka telah mengenakan kain sepanjang dua belas hasta yang dapat menutupi seluruh badan. Kain-kain pada zaman tersebut sangat diproritaskan pada perempuan karena selain perempuan dilambangkan sebagai sosok ibu, wastra juga menjadi pelindung diri bahkan adanya kewajiban belajar menenun.

Berdasarkan hasil wawancara oleh Ibu Nurhawani, S.S kurator museum Aceh (Selasa, 17 Juli 2024) menyatakan, “Pada zaman  kerajaan Aceh, wastra memiliki kemiripan dengan sari-sari India. Hal tersebut dapat dilihat pada segi bentuk dan ukuran. Karena keindahan motifnya, kain-kain tersebut diperdagangkan bahkan sampai lintas negara. Seiring berjalannya waktu, wastra tradisional Aceh mulai memudar karena kurangnya perhatian masyarakat. Pakaian-pakaian yang diproduksi dengan nuansa Aceh sudah tidak lagi dilestarikan, bahkan sangat jarang adanya kewajiban memakai baju tradisional kecuali pada acara-acara tertentu. Pakaian generasi saat ini  telah bercampur dengan gaya barat. Hal ini menyebabkan mulai langkanya wastra Aceh diproduksi”.

Adapun wastra yang masih dapat kita jumpai terdapat di daerah Pidie dan Aceh Besar. Seorang pengrajin yang masih mewarisi keahlian wastra Aceh salah satunya dapat ditemui di Kecamatan Darusalam, Kabupaten Aceh Besar. Pengrajin tersebut telah menghasilkan songket-songket Aceh bernama Nyak Mu dan memiliki kualitas tinggi. Kain-kain yang dihasilkan telah berhasil diperjualkan hingga ke manca negara seperti Malaysia, Singapura, dan Sri Lanka. Namun, karena peristiwa konflik dan tsunami, penjualan kain songket Nyak Mu menurun. Lagi-lagi karena kurangnya perhatian dan kepedulian terhadap wastra Aceh membuat songket Nyak Mu ini perlahan-lahan terlupakan dan tergantikan dengan pakaian-pakaian yang tidak mencerminkan kearifan lokal bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Dalam memulihkan wastra Aceh, dapat dilakukan pelatihan-pelatihan terkait materi maupun praktik pembuatan wastra. Tidak hanya itu, dapat diterapkan di lembaga pendidikan dengan memasukkan pelajaran wastra Aceh yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan. Selain itu, dengan diadakan perlombaan wastra lokal juga menjadi pemicu pulihnya wastra Aceh. 

Di Aceh saat ini, sedang diadakannya pameran wastra di museum Aceh. Hal ini bertujuan untuk kembali memperkenalkan wastra Aceh kepada masyarakat khususnya generasi milenial. Pameran berlangsung di Gedung temporer mulai hari Senin, 15 Juli 2024 sampai Desember di Banda Aceh. Senin, 16 Juli 2024 Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh,  Almuniza Kamal mengatakan “Terdapat lima puluh delapan koleksi wastra dunia dan Aceh. Salah satu wastra yang digunakan adalah sutra selain untuk diperjual belikan, dapat juga menjadi diplomasi antar budaya.  Diharapkan dengan kegiatan ini, masyarakat dapat berkunjung tidak hanya untuk meramaikan, tetapi juga memahami pentingnya melestarikan potensi lokal sebagai bentuk indetitas dan keragaman.” Ungkap Almuniza saat pembukaan acara. 

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan