Esai

Membangun Paradigma Keilmuan Integrasi-Kolaborasi

MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN Integrasi-Kolaborasi,Collaboration of Science, Takatuful Ulum “KETUPAT ILMU”INISNU-UNISNU TEMANGGUNG

Informasi Dasar

• ISBN: 978-623-96062-0-6

• Cetakan Pertama: Januari 2021, dengan kemungkinan cetak ulang atau revisi pada 11 September 2023.

• Tebal Buku: 202 halaman dengan ukuran 14 x 21 cm, yang memberikan cukup banyak ruang untuk pembahasan yang mungkin detail.

• Penerbit: YAPTINU Temanggung, sebuah penerbit di bawah Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama Temanggung, yang beralamat di Jawa Tengah.

Tim Pengarah, Penyusun, dan Penyunting

Buku ini mendapat arahan dari tokoh-tokoh seperti Drs. KΗ. Muhamad Muzamil dan KH. Hudallah Ridwan Naim, yang menandakan adanya pengawasan ketat dalam konten, terutama dari segi nilai keagamaan dan edukasi.

Disusun oleh Hamidulloh Ibda dan disunting oleh Khamim Saifuddin & Moh. Syafi’. Tim ini, yang melibatkan pengajar, ulama, dan akademisi, menunjukkan bahwa buku ini ditujukan untuk pembaca yang mungkin tertarik dengan pendidikan, agama, atau nilai-nilai sosial.

Isi dan Tema Buku

Meskipun dari informasi yang diberikan tidak ada detail spesifik tentang isi buku, adanya campur tangan tokoh-tokoh agama dan akademisi mengisyaratkan bahwa buku ini kemungkinan besar membahas tema-tema keagamaan, pendidikan, atau sosial.

Bisa saja buku ini menyuguhkan panduan atau wawasan keislaman dengan sudut pandang pendidikan, mengingat terbitannya melalui yayasan yang terkait dengan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama. Buku seperti ini mungkin berisi pandangan terkait pendidikan karakter, moralitas, atau bahkan penerapan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari atau dalam konteks pendidikan   

Bab 1

KONSEP PARADIGMA ILMU

P aradigma ilmu, selanjutnya bisa disebut paradigma keilmuan menjadi bagian penting dalam membangun dan mengembangkan perguruan tinggi Paradigma merupakan salah satu istilah yang sudah banyak digunakan berbagai ilmuwan. Istilah lain dari paradigma adalah theoretical framework (kerangka teoretis), conceptual framework (kerangka konseptual), frame of thinking (kerangka pemikiran), theoretical orientation (orientasi teoretis), perspective (sudut pandang), atau approach (pendekatan).3 Paradigma merupakan konstruksi berpikir yang mampu menjadi wacana dalam temuan ilmiah yang dalam konseptualisasi Thomas S Kuhn adalah menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru.

Dalam sejarahnya idiom “paradigma” berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang dalam filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh dalam. Dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Kuhn.

Inti sari pengertian paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoretis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Buku “Structure of Scientific Revolutions” menjadi awal berkembangnya istilah paradigma dimulai pada tahun 1962 yang dikreasi seorang asal Cincinnati, Ohaio, dia adalah Thomas Kuhn. Pada tahun 1922 Kuhn belajar

      Menurut Kuhn ilmu bergerak melalui tahapan- tahapan yang berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk” karena telah digantikan ilmu atau paradigma baru. Selanjutnya paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga menjadi paradigma baru. Paradigma dalam bahasa Yunani para deigma, dari pada (di samping, di sebelah) dan dekynai (memperlihatkan: yang berarti model, contoh, arketipe, ideal). Paradigma merupakan cara pandang seorang tentang suatu pokok permasalahan fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun keyakinan dasar dalam menuntun seorang bertindak dalam kehidupan.”

      Islam sendiri memiliki beberapa definisi ilmu. Kata ilm di dalam Alquran disebut sebanyak 105 kali, dan dengan kata jadiannya disebut tak kurang dari 744 kali. Secara rinci, kata-kata jadian tersebut disebut dalam bentuk dan frekuensi yaitu ‘alima (35), ya’lamu (215), i’lam (31), yu’lamu (1), ‘ilm (105), alim (35), yu’lamu (1), ‘alim (18), ma’lum (13), ‘alamin (73), ‘alam (3), a’alm (49), ‘alim atau ulama’ (163), ‘allam (4), ‘allama (12), yu’allimu (16), ‘ulima (3), mu’allam (1) dan ta’allama (2).

       Dalam Bahasa Indonesia, istilah “ilmu pengetahuan atau “sains” memiliki sejumlah persamaan kata dalam bahasa asing seperti science (bahasa Inggris), wissenschaft (Jerman) atau wetenschap (Belanda). Maksud pengertian science, adalah natural sciences (ilmu-ilmu kealaman). Natural sciences (ilmu-ilmu yang mempelajari fenomena- fenomena alam semesta dengan segala isinya). Natural sciences (ilmu-ilmu dasar) atau basic sciences), disebut pula sebagai pure sciences (ilmu-ilmu murni) seperti biologi, kimia, fisika, dan astronomi, dengan segala cabangnya. Derivasi dari basic sciences merupakan applied sciences atau ilmu-ilmu terapan, yaitu farmasi, kedokteran, pertanian, kedokteran gigi, optometri, dan lain-lain.12 Ilmu (logos) merupakan pengetahuan melalui usaha sadar, sistematis, empirik, dan tidak berdasarkan mitos. Ilmiah berarti berdasarkan ilmu pengetahuan, yang dilandasai penelitian objektif dari bidang kajian ontologi, epistemologi, dan aksiologi

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan. Paradigma keilmuan merupakan seperangkat kepercayaan berdasarkan ilmu pengetahuan untuk melakukan sekaligus mengembangkan tindakan. Berdasarkan kebenaran dan validitas. Dalam konteks. Paradigma keilmuan ini, dapat digunakan dalam ilmu sebagai model. Contohnya pola yang dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk mencari dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk memecahkan problem-problem riset.

MENGAPA PARADIGMA KEILMUAN PENTING?

     Paradigma ilmu memiliki peranan penting dalam proses keilmuan. Paradigma keilmuan berfungsi untuk memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan. menguji konsistensi dari proses keilmuan. Tidak hanya itu, paradigma ilmu juga berfungsi sebagai lensa para ilmuan dan dapat mengamati memahami masalah- masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut. Maka paradigma merupakan aspek yang begitu penting / urgent dalam proses keilmuan dan dijadikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari atau dengan ibarat lain paradigma merupakan sebuah jendela. tempat orang mengamati dunia luar dan tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya dan sebagai kumpulan tata nilai sebagai pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga dapat membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana. seseorang menanggapi realita itu sebagaimana para filosof terdahulu yang mempunyai pendapat berbeda dalam meyakini sebuah penemuannya.

     Wacana Merdeka Belajar Kampus Merdeka juga perlu direspon oleh perguruan tinggi di Indonesia. Gagasan Mendikbud Nadiem Makarim ini menjadi bagian dari proses pembangunan bahkan rekonstruksi paradigma keilmuan yang dikembangkan oleh perguruan tinggi. Sedangkan munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan ini menjadi sinyal positif bagi PTKIS di bawah Kemenag untuk bertranformasi menjadi universitas. Sebab, jika dulu induk PTKIS jika ingin menjadi universitas harus berada di bawah Kemristek Dikti (saat ini Kemdikbud), maka sejak munculnya PP itu membawa angin segar untuk PTKIS berkonversi menjadi universitas secara langsung di bawah Kemenag.

     Hal itulah yang ditangkap Tim STAINU Temanggung untuk melakukan berbagai akselerasi. Proses pembangunan paradigma di STAINU Temanggung sudah berjalan sejak awal pengajuan konversi menjadi INISNU Temanggung. Melalui berbagai tahap dan diskusi panjang, maka paradigma keilmuan yang dibangun oleh tim menjadi bagian penting untuk memajukan INISNU mengembangkan keilmuan ke depannya.

RELASI ILMU PENGETAHUAN, FILSAFAT, DAN AGAMA

     Secara bahasa, agama berasal dari kata religion

(bahasa Inggris), religi (bahasa Belanda), dan din (bahasa Arab). Dalam agama Islam ada agama langit (samawi) atau “agama wahyu” dan ada “agama bumi” (ardhi) atau “agama non wahyu”. Menurut Max Weber, tidak ada masyarakat tanpa agama. Ilmu, filsafat, dan Agama memiliki fungsi masing-masing dan mempunyai perbedaan dan pesamaan. 19 Keduanya hakikatnya tidak dapat dipisahkan meskipun beberapa filsuf memiliki berbagai teori.

     Alquran sangat menegaskan tentang urgensi ilmu dan keharusan menguasainya. Ilmu dan kehidupan manusia adalah bagaikan kepala dalam jasad. Allah Swt memberikan keistimewaan kepada Adam dan memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya, adalah karena kesiapan Adam untuk belajar dan keberhasilannya untuk mendapatkan ilmu yang diberikan Allah Swt dan tidak didapatkan oleh para malaikat. Dengan ilmulah Adam menjadi tinggi. Derajatnya di atas malaikat.

     Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Sebab, akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya rasional-spekulatif) membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan, diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan. Ilmu, filsafat dan agama. Memiliki keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada tiga potensi utama yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa serta keyakinan. Melalui ketiga potensi tersebut manusia akan memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya.23

      Substansi relasi ilmu, dan agama adalah sama- sama untuk mencari kebenaran. Ilmu melalui metode ilmiahnya berupaya mencari kebenaran. Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau riset untuk membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Agama dengan karakeristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan alam, manusia, dan Tuhan. Ada persamaan antara ilmu, dan agama yaitu tujuannya mencari.24 Relasi ilmu pengetahuan dan agama tidak perlu

Dirisaukan dan bahkan menjadi suatu kebutuhan antara keduanya. Dalam kajian Islam, semua. “kebenaran” berasal dari Tuhan. Kebenaran agama berasal dari Allah yang kemudian kebenaran berwujud firman (ayat qawli), dan kebenaran ilmu pengetahuan (natural sciences, social sciences, and human sciences) berwujud realitas empiris (ayat kauni). Hakikatnya keduanya berasal/bersumber dari Allah, maka kebenaran keduanya tidak akan berbeda apalagi bertentangan. Jika dalam hal realitas empirik dan agama terjadi pertentangan, maka ada dua. Kemungkinan. Pertama, ilmu pengetahuan (sains)

MODEL ISLAMISASI ILMU (PENGISLAMAN ILMU)

Para tokoh Islam dalam sejarahnya pernah menyerukan kebangkitan Islam. Gerakan kebangkitan Islam yang paling terkenal misalnya digelorakan oleh Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, melalui proyek al-urwah al-wusqa, Jamaluddin al-Afghani melalui pan Islamisme, serta Ismail Razi al- Faruqi melalui Islamisasi ilmu. Dalam segi ilmu pengetahuan, kecenderungan ini melahirkan proses pengislaman ilmu pengetahuan yang kemudian dikenal dengan Islamisasi ilmu. Di satu sisi, gerakan Islamisasi ilmu berdampak baik dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Di sisi lain merupakan upaya reaktif masyarakat Islam terhadap ilmu-ilmu mainstream yang Barat-sentris. Aspek yang kedua ini tampaknya. Lebih mendominasi corak ilmu pengetahuan Islam, di mana Islam hanya stempel teerhadap ilmu-ilmu umum (baca: fisik), namun sepi dan kosong dari roh substansi Islam itu sendiri, 26

     Spirit islamisasi ilmu sebenarnya sudah bergelora sejak lama. Munculnya ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lainnya yang dulu mewarnai perkembangan ilmu di internal Islam, menjadi spirit untuk menegakkan bahwa Islam itu lengkap. Artinya Islam mempunyai otoritas keilmuan lengkap, dari sisi ilmu agama maupun ilmu umum.

     Melihat dinamika hal itu, berbagai ijtihad, riset ilmiah terus berkembang. Beberapa filsuf memiliki dua pandangan yang berawal dari dua poros, yaitu ilmu pengetahuan dan agama, atau agama dan ilmu pengetahuan. Hingga pada akhirnya muncul dua istilah, yaitu “islamisasi ilmu” atau “pengislaman ilmu dan “ilmunisasi Islam” atau “pengilmuan Islam”.

Kosen islamisasi ilmu pengetahuan memiliki banyak kajian karena banyak tokoh mengemukakan. Hal itu. Banyak beberapa filsuf dan pemikir

Berpendapat atas model ini. Seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Taha Jabir al-Alwani, Ismail Raji al- Faruqi, Ziaudin Sardar, Nidhal Guessoum, dan lainnya. Syed Muhammad Naquib al-Attas memiliki

Gagasan paradigma islamisasi ilmu pengetahuan. Menurutnya, dalam proses islamisasi ilmu membutuhkan kajian mendalam tentang asas-asas metafisika dan epistemologi Islam oleh pemikir Islam klasik. Setelah tahap ini tuntas, baru selanjutnya menghayati temuan-temuan itu, sehingga proses islamisasi ilmu akan terjadi secara natural.20

     Ismail Raji al-Faruqi memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, proses islamisasi ilmu dimulai dengan dikenakannya secara langsung terhadap bidang ilmu yang bersangkutan. la memerinci 12 langkah untuk melakukan islamisasi ilmu:

1. Penguasaan disiplin modern metodologi, perkembangannya) masalah, (prinsip, tema,

2. Peninjauan disiplin ilmu

3. Penguasaan ilmu warisan Islam (ontologi)

4. Penguasana ilmu warisan Islam dari sisi antologis

5. Penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu disiplin ilmu

6. Penilaian kritis disiplin modern untuk memperjelas kedudukan disiplin terhadap langkah      yang harus diambil untuk menjadikannya bersifat islami

7. Penilaian kritis ilmu warisan Islam, seperti

       pemhaman atas Alquran dan Sunnah

8. Kajian dan penelitian masalah utama umat Islam

9. Kajian tentang masalah pokok yang membelit manusia sedunia

10. Melahirkan analisis dan sintesis yang kreatif

11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam (kita-kitab utama teks dalam universalitas)

12. Memasarkan dan menyosialisasikan ilmu- ilmu yang sudah diislamkan

MODEL ILMUNISASI ISLAM (PENGILMUAN ISLAM)

Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dicetuskan Isma’il Razi al-Faruqi, seorang pemikir Islam dari lembaga pemikiran Islam internasional (International Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat. Sedangkan gagasan “ilmunisasi Islam”, tokoh- tokohnya yaitu Muhamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan di Indonesia sendiri, konsep pengilmuan Islam mencapai gaungnya ketika dicanangkan oleh pemikir Islam Indonesia, Kuntowijoyo. Pengilmuan Islam atau ilmuisasi Islam ini sebenarnya mengambil momentum, sekaligus mengkritik, gagasan Islamisasi ilmu yang moncer pada abad ke-19.34 Muhammad / Muhamed Arkoun sebagai salah satu tokoh pemikir dan tokoh muslim memberikan tawaran metodologi penafsiran Alquran. Hal itu berdampak pada pengilmuan Islam itu sendiri. Dalam konteks sejarah, Konferensi Pendidikan. Islam sedunia pertama pada 31 Maret sampai 8 April 1977 di Jeddah, Saudi Arabia, istilah “islamisasi sains” atau “islamisasi ilmu” juga berkemuka kembali. Pada konferensi tersebut Indonesia juga mengirimkan delegasinya dipimpin AM Syaifuddin. Sedangkan di Indonesia wacana Islamisasi sains/ilmu pertama kali dikemukakan pada diskusi panel epistemologi Islam yang dilaksanakan di Masjid Istiqlal pada 23 November 1985. Wacana ini terus bergulir hingga sekarang sehingga memunculkan para intelektual-intelektual Muslim yang menggagaskan islamisasi sains/ilmu.

Kondisi inilah yang tidak disetujuioleh

     Kuntowijoyo dalam ungkapan awalnya dalam buku Islam sebagai Ilmudengan mengatakan bahwa: “Saya tidak lagi memakai “Islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan menjadi “pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif pengilmuan Islam adalah proses, paradigma Islam adalah hasil, sedangkan Islam sebagai ilmuadalah proses dan hasil sekaligus. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. 40 Pada dasarnya, konsep pengilmuwan Islam adalah bagaimana membangun ilmu yang sudah ada dalam teks ajaran Islam. Jika Islamisasi itu arusnya dari konteks ke konteks, maka pengilmuan Islam sebaliknya, dari teks ke konteks. Alquran dan Sunnah yang bersifat universal dan kaffah ini mengisyaratkan bangunan teori-teori yang dibutuhkan manusia. Bangunan teori atau grand theory ini nantinya bisa. Dikembangkan menjadi sebuah ilmu yang relevan dengan realitas yang ada. Di sinilah kemudian dibutuhkan apa yang oleh Kuntowijoyo disebut perumusan teori dengan paradigma Alquran.

Sedangkan objektivikasi adalah suatu tindakan yang didasarkan nilai-nilai agama, akan tetapi disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lainnya. Dalam istilah Kuntowijoyo, objektivikasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif. Ada empat hal yang akan dibicarakan, yaitu (1) mengenai tujuan akhir paradigma Islam, (2) keterlibatan umat (Paradigma Islam) dalam sejarah, (3) methodological objectivism, dan (4) sikap paradigina Islam terhadap ilmu-ilmu sekuler.

MODEL INTEGRASI KEILMUAN

Selain islamisasi ilmu dan pengilmuwan Islam, ada metode/mazhab dalam paradigma keilmuan yang dikembangkan kampus-kampus bertipe PTKI. Secara umum, terdapat tiga kelompok besar dalam mendiskusikan paradigma ilmu, yakni “paradigma sekuler, paradigma islamisasi dan paradigma integratif. 46 Ternyata dari metode “islamisasi ilmu” dan “ilmunisasi Islam” banyak berbeda dengan pendapat yang berpola mengintegrasikannya. Artinya,dua hal ini menjadi terpadu ketika diintegrasikan yang tentu dapat dikembangan perguruan tinggi di Indonesia. Hal itu sudah dilakukan sejumlah universitas di Indonesia yang berbentuk PTKI, mereka berhasil mengintegrasikan yang secara otomatis melakukan proses perumusan paradigma keilmuan tanpa mendikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Menurut lan G. Barbour, ada 4 pola hubungan antara agama dan ilmu, yaitu konflik (bertentangan), independensi (masing-masing berdiri sendiri), dialog (berkomunikasi) atau integrasi (menyatu dan bersinergi).47 Pendapat John F. Haught berbeda, ia menampilkan empat tipologi yaitu (1) konflik, (2) kontras, (3) kontak, dan (4) konfirmasi.48

Mikael Stenmark memiliki pendapat lain. Menurutnya, tipologi Barbour dalam merelasikan agama-sains terlalu statis, universal, historis, namun kurang dinamis dan melibatkan. Menurut Stenmark sendiri, isu-isu relasi agama dan sains itu tersusun atas lima klasifikasi tingkatan

Rekomendasi Pembaca

• Dengan kolaborasi antara ulama dan akademisi, buku ini tampaknya ditujukan untuk kalangan yang memiliki ketertarikan pada bidang agama Islam, pendidikan, atau pengembangan diri dari perspektif moral dan etika.

• Dapat direkomendasikan untuk pendidik, mahasiswa, atau pembaca umum yang ingin mendalami pandangan agama dalam konteks pendidikan dan kehidupan sosial.

Kesimpulan

Berdasarkan semua poin di atas, buku ini terlihat sebagai karya yang terstruktur, mendalam, dan penuh dengan kontribusi keilmuan dan keagamaan. Review lebih lanjut yang menggali isi spesifik buku akan memberikan wawasan yang lebih jelas, namun dari detail umum, tampaknya ini adalah sumber yang kaya untuk mendalami hubungan antara agama, pendidikan, dan moralitas dalam konteks masyarakat.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan