Artikel

Mempertanyakan Humanisme Pendidikan dalam Lingkup Materi SKI dalam Pendidikan di MTS

Judul: Humanisme Pendidikan: Kritik Terhadap Materi Sejarah Kebudayaan Islam di MTS

Jurnal: Wahana Akademika

Penulis: Khamim Saifuddin, Hamidulloh Ibda

Akreditasi: 

Url: https://journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/view/5731/pdf

DESKRIPSI

Perkembangan selalu terjadi pada kehidupan sosial, agama, dan budaya dalam kehidupan manusia. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi juga ikut serta dalam menghasilkan sebuah keseimbangan kehidupan. Pendidik diharapkan dapat menghasilkan produk ekonomi dan budaya yang pada akhirnya dapat mengatasi keterbelakangan manusia.

Dalam kancah global manusia adalah subjek utama. Harapannya dapat mempertahankan hidup dengan dengan sebuah vis besar yang dibawa. Dan pendidikan merupakan sarana pembentuk budaya dalam peradaban. John Dewey mengungkapkan bahwa pendidikan adalah alat transformasi budaya. Aspek nilai normatif dalam penyusunan konsepnya akan menjadi ciri khas ilmu sosial humaniora.

Sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, manusia harus memiliki konsep yang dapat membawa manusia pada tujuan utama dalam hidup yakni sebagai pemimpin dimuka bumi (Khalifah fil ardh) untuk mampu melaksanakan janji primordial kepada Tuhan untuk beribadah. (Depag, 1992)

Melalui pendidikan peserta didik dapat dapat mencapai kedewasaan sebagai kewajiban asasi lainnya. Sehingga ia bisa bertanggung jawab atas perbuatannya sebagai pengembagan individu. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki posisi yang penting. Dalam pendidikan di madrasah diajarkan mengenai sejarah kebudayaan Islam. Hal ini memiliki tujuan mengenalkan mengenai keberlangsungan sejarah kebudayaan Islam yang mulai dari zaman Rasul hingga kini. 

Pendidikan merupakan unsur terbesar dari sebuah pembentukan pola pikir para peserta didik yang nantinya akan menjadi manusia dewasa yang dapat mengemban tugas manusia sehingga sebuah budaya dan kehidupan beragama akan terpancar dari realisasi pendidikan. Maka dari itu setiap manusia memiliki kesempatan untuk mendapat berbagai macam materi pelajaran tanpa adanya perbedaan materi. Hal ini yang dituntut untuk selalu menerapkan praktik-praktik human oriented atau dengan kata lain manusia itu sendiri.

Humanisme pendidikan berasal dari kata humanisme dan pendidikan, humanis artinya ajaran pada sisi kemanusiaan. Sedangkan pendidikan artinya proses yang memungkinkan untuk melakukan proses pengkayaan budaya non fisik (memelihara dan mengembangkan) dalam mengasuh dan mendidik anak maupun orang dewasa. (Pius A. Partanto, 1994)

Konsep humanisme dalam pendidikan memiliki ciri khas yang memiliki tujuan untuk dapat menciptakan peradaban umat manusia tanpa adanya embel-embel kekerasan dan penindasan. Ketertinggalan dan kebodohan manusia dimulai dari kesalahan penerapan sistem pendidikan yang masih bersifat eksklusif. Maka dari itu konsep humanisme pendidikan tetap konsen pada isu-isu kemanusiaan yang bersifat inklusif supaya wacana ini benar-benar dapat terwujud dalam lingkup pendidikan. (Freire, 2002)

INTERPRETASI

Konsep humanisme dalam pendidikan memiliki ciri khas yang bertujuan menciptakan peradaban umat manusia tanpa adanya embel-embel kekerasan serta penindasan. Secara sederhana. Secara sederhana teori dasar humanisme pendidikan Pertama, adalah semangat pembebasan yang merupakan karakteristik alamiah yang dimiliki oleh manusia. Berawal dari karakteristik ini menjadikan manusia setingkat menjadi maju dibandingkan makhluk lainnya. Kebebasan untuk dapat berekspresi dan menentukan arah pendidikannya sendiri menjadi hak prerogatif peserta didik. Memilih kehidupan masa depan tanpa adanya sebuah pemaksaan bahwa kamu harus jadi ini dan kamu harus menjadi implicit menjadi target esensial setiap manusia. (Paulo Freire, 2002)

Kedua, Kebersamaan (sensitif gender). Kesatuan manusia tidak akan tercapai ketika relasi dan komunikasi tidak diciptakan dengan massif. Contoh, proses penciptaan Adam dan Hawa tak pernah lepas dari sebuah peranan komunikasi. Tujuan awal penciptaan terseut menjadi keuntungan bagi manusia untuk dapat memperlakukan orang lain sesuai dengan porsi strategi bukan sebaliknya yang menggunakan pandangan mengenai proses pembuangan umat manusia ke muka bumi karena bujukan Hawa untuk memakan buah haram (khuldi), (Elis Sarifatun, 2005)

Adapun analisa dalam artikel ini dapat ditarik kesimpulan yakni: menggagas pola kehidupan pendidikan manusia sebagai subjek dunia tidak akan pernah selesai. Khusus untuk bahan pendidikan sejarah kebudayaan Islam yang berlaku pada Madrasah Tsanawiyah, penulis menemukan materi yang menurut konsep pendidikan kekiniaan (humanis pendidikan) kurang mengacu pada konsep itu.

Beberapa sampel materi masih merugikan salah satu gender yakni perempuan dan juga terdapat upaya penggiringan siswa menjadi seorang politikus serta mengajarkan siswa pada budaya kekerasan. Dampak dari penggunaan sampel tersebut akan sangat membahayakan sisi psikologi pada anak didik. Ketidakadilan gender, politisasi pendidikan dan violence culture akan terpuruk secara subur dikalangan masyarakat.

Membudayakan sebuah budaya penerapan agama kekerasan membuat para pemerhati pendidikan merasa gerah dan membuat berbagai respon terobosan sebagai sarana protes terhadap banggunan yang menunjukkan status quo ini. Upaya yang dilakukan guna menghindarkan dari praktik-praktik ketidakadilan ialah melalui perubahan pada dunia pendidikan.

EVALUASI

Gambaran dari pendidikan konsep humanisme pendidikan yakni pendidikan yang memuat kesetaraan, dan pembebasan menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam rangka mengikis habis budaya-budaya dewa kekerasan. Hal ini berangkat dari asumsi peserta didik adalah salah satu generasi mendatang yang dapat memimpin  serta membangun roda kehidupan baik dalam sektor politik, agama maupun sektor kemasyarakatan lainnya.

REKOMENDASI

Pendidikan humanis harus ada disetiap jenjang pendidikan. Dalam penelitian ini pengambilan materi terlalu mengedepankan masalah kekerasan yang berimbas pada intoleransi meski tidak bisa dipungkiri hal tersebut benar-benar terjadi dalam sejarah. Kesetaraan gender, semangat pembebasan dan psikologi anak kurang diberikan secara berimbangsehingga muncul stigma bahwa materi ini kurang proporsional dan hanya memberikan pemahaman tentang semangat menindas dan mengalahkan.

Anisa Rachma Agustina

Tinggalkan Balasan