Artikel

Mempertanyakan Pandangan Islam Mengenai Seni Musik Ditinjau dari Segi Filsafat dan Fiqh

Judul: Pandangan Islam Terhadap Seni Musik: Diskursus Pemikiran Fiqh dan Tasawuf

Jurnal:  Jurnal Syariati

Penulis: Sumarjoko, Hidayatun Ulfa

Akreditasi:

Url: 

https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/syariati/article/view/1177

DESKRIPSI

Kesenian merupakan bagian dari objek keindahan dalam filsafat estetika. Hadirnya seni ini memiliki peran besar dalam dalam penyokong budaya dalam kemajuan umat Islam. Para filsuf muslim terdahulu semisal al-Farabi, Ibn Sina atau Ibn Rush serta lainya kurang menjangkau pada wilayah kesenian, meskipun mereka lebih mengenal filsafat Yunani (Abdullah, 1995: 190).

Al-Qur’an sebagai mukjizat juga memilki dimensi seni dan sumber inspirasi yang sangat representif. Banyak sekali ayat Al-Quran yang memuat nilai-nilai keindahan. Ungkapan-ungkapan indah alQur’an semisal, “matahari saat naik sepenggalan”, dan bahkan pemandangan hewan ternak saat pulang ke kandang diungkapkan dengan bahasa “lakum fîhâ jamâl” sebagaimana dalam Q.S. an-Nahl: 6

Keindahan-keindahan yang diungkapkan oleh al-Qur’an telah ditangkap sebagian seniman muslim untuk menciptakan suatu kreasi tanpa memandang legal formalnya. Ditambah dengan keumuman hadits yang diriwayatkan Imam Muslim sangat terkenal dikalangan seniman muslim.

Para ulama yang terbuka (inklusif) dan tergugah terhadap kesenian mayoritas dari kaum filsuf (ahli filsafat) dan sufi (ahli tasawuf). Kedua golongan ulama terakhir ini memandang seni dari estetika dan subtansial. Estetika merupakan bagian dari filsafat dan tasawuf. Banyak filsuf yang menguasai musik dan teorinya meskipun tidak menjangkau secara totalitas kesenian yang lain. 

Secara etimologi, kata “kesenian” berasal dari terjemahan kata bahasa Inggris “art” yang berarti “seni.” Sedangkan “musik” menurut Irwin Edman, seorang filsuf dari Amerika, dideskripsikan sebagai urutan bunyi bunyian yang logis tetapi bukan logika suatu argumentasi, namun suatu himpunan teratur dari vitalis dimana bunyi-bunyian bersatu padu dan mengkristalisasi.

Kesenian Islam merupakan sebuah penyebutan orang muslim semata terhadap kreasi manusia yang mengandung nilai religi. Al-Quran menjadi tuntunan bagi umat manusia untuk dapat mengenal Allah SWT dan senantiasa mengajak untuk dapat memandang keseluruhan n jagad raya yang diciptakanNya dengan serasi dan amat indah (Shihab, 1995: 1) Jiwa seni ada dalam tiap akal budi umat manusia dengan pengejawantahan yang berbeda-beda pula. 

INTERPRETASI

Para fuqahâ` imam mazhab pasca generasi tabi’in melihat kesenian bukan termasuk persoalan ijtihadiyah. Mengingat perkembangan kesenian pada  waktu itu hanya lagu dan musik serta patung yang hanya dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Hal tersebut sudah ada nash yang mencakupnya. Semisal larangan menggunakan gitar dan seruling. Demikian pula larangan membuat patung yang akhirnya mengenai seni rupa yang saat itu masuk dari budaya Yunani zaman Abbasiyah. Kesenian terus berkembang dengan cabang-cabang yang kompleksitas. 

Akhirnya muncul istilah oleh para fuqahâ` bahwa “an-nuṣûs mutanâhiyah wa al-waqa’u ghairu mutanâhiyah” (teks-teks hukum itu terbatas adanya, sedangkan kasus-kasus hukum yang baru senantiasa berkembang). Hukum Islam harus mampu menghadapi perubahan. Oleh karena itu sudah sewajarnya para fuqahâ` untuk memberikan kontribusi sesuai zaman dengan menggunakan manhaj/metode tertentu dalam menyelesaikan persoalan hukum baru (Hamzah, 2018: 91). 

Ulama mazhab Syafi’i semisal al-Ghazali, telah menanggapi persoalan terhadap sekitar seni musik dan nyanyian dengan beda pandangan dengan fuqahâ` sebelumnya. Al-Ghazali disamping seorang faqih juga seorang ahli tasawuf (sufi). Menurutnya mendengarkan musik atau nyanyian itu disamakan seperti halnya dengan mendengarkan perkataan makhluk hidup atau benda mati. 

Mendengarkan musik laiknya mendengarkan pembicaraan makhluk hidup yang terkadang mengandung ghibah, hal ini yang dilarang. Adapula yang mendengarkan musik yang liriknya mengandung dan mengajak untuk melakukan perbuatan mungkar. Dalam sebuah kaidah fiqh terdapat sebuah ungkapan: “Apa yang membawa kepada yang haram maka hal tersebut juga haram hukumnya.” (Djazuli, 2014: 32) 

Tidak semua lagu mengarah pada kemungkaran. Bahkan banyak juga mendengarkan lagi serupa dengan mendengarkan nasehat-nasehat keagamaan. Dari sana lahirlah musik religi yang semakin hari berkembang semakin pesat. Dari berbagai problematika yang ada maka musik yang diharamkan oleh fuqaha’ diklasifikasikan sesuai dengan keadaanya.

Demikian pula dalam persoalan kesenian yang lain. Ini berbeda apabila haramnya suatu hal itu karena dzatiyahnya. Semisal gitar atau seruling yang biasa dikenal alat malahi. Menurut para fuqahâ` menggunakan barang ini haram hukumnya. Dalam konsep ekonomi syariah, alat malahi itu ibarat barang ribawi.

EVALUASI

 Para ulama yang sangat membatasi dan bahkan menentang kesenian adalah dari golongan fuqahâ` dan teolog Di kalangan fuqahâ` baik al-Imam Abu Hanifah, Malik ibn Anas dan Syafi’i cenderung mengharamkan untuk mendengarkan musik (sama’). Bahkan, bersenandung dengan nyanyian lagu itu makruh dan menyerupai kebathilan. Mereka yang sering menyanyi tergolong sebagai orang safih (bodoh) dan kesaksiannya di tolak. Al-Imam Abu Hanifah menganggap dosa bagi pendengar musik. Pendapat al-Imam Syafi’i menyatakan nyanyian adalah permainan sia-sia (lahwun) dan menyerupai kebathilan.

Kesenian termasuk persoalan yang menjadi polemik antar disiplin ilmu dalam agama Islam. Bahkan antar fuqahâ` dalam satu disiplin hukum Islam juga menuai perdebatan yang panjang. Para fuqahâ` memiliki kecenderungan selalu membuat kategori halal-haram bahkan sampai dalam kesenian dan keindahan. Seperti yang dikemukakan didepan, seni termasuk kebutuhan tersier atau maslaḣah taḣsîniyât dalam pandangan filsafat hukum Islam yang dikaji oleh fuqahâ` pasca generasi imam mujtahidin.

Dari berbagai pandangan fuqaha mengenai musik, dapat ditarik benang merah bahwa: tidak semua musik haram. Tergantung konteks dan isi lirik yang terkandung dalam lagu tersebut. Sebelum mendikte orang lain dan menyebut apa yang orang lain kerjakan buruk dan haram, seyogyanya terlebih dahulu untuk melihat konteks dan kondisi. 

REKOMENDASI

Memperbanyak wawasan mengenai berbagai persoalan akan membuat kita menjadi lebih terbuka dengan sesuatu. Tidak serta merta mengharamkan sesuatu, melainkan dapat mengambil jalan tengah. Memberi tahu sebuah hukum tanpa menyakiti orang lain dan secara perlahan. Untuk mengetahui berbagai hukum maka kamu harus banyak belajar dari berbagai sumber yang terpercaya. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Sumarjoko dan Hidayatul Ulfa ini.

Tinggalkan Balasan

Exit mobile version