Artikel

Mengenal Kaidah Fiqh dalam Bidang Muamalah

Judul: Kaidah Fiqh Bidang Mu’amalah Mazhab Syafi’i (Kajian Teoritis dan Praktik serta Kehujjahannya) 

Jurnal:  Jurnal Iqtisad

Penulis: Sumarjoko, Hidayatun Ulfa

Akreditasi:

Url: https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=WM6kzngAAAAJ&citation_for_view=WM6kzngAAAAJ:UebtZRa9Y70C

DESKRIPSI

Berbagai problematika yang dihadapi dalam proses jual beli diberbagai lingkup membuat beberapa cendekia merumuskan bahwa sistem ekonomi islam diyakini sebagai jalan keselamatan. Ini akan menggantikan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang tidak mampu memberikan rasa keadilan dan kemakmuran. Untuk memenuhi dan menjawab tantangan tersebut, para ahli hukum Islam (fuqaha) di berbagai lapisan dilakukan studi metodologis hukum Islam, kritis terhadap manhaj (metode) yang telah dirumuskan para ulama klasik. Para ahli hukum mengakui, bahwa, teks-teks hukum terbatas, sementara kasus-kasus hukum baru terus berkembang “An-Nushus Mutanahiyah wa al-waqa’u ghairu mutanahiyah”. 

Dalam  hal ini, ini adalah metode (manhaj al-ijtihad) yang serius oleh para ahli hukum, praktisi atau ekonom syariah dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan mu’amalah. Untuk alasan ini, usul fiqh adalah prosedur ijtihad serta barometer yurisprudensi hukum. Pada klimaksnya, ushul fiqh terkait dengan prinsip-prinsip argumen umum. Kemudian dibuat rumusan al-qawaid al-ushuliyyah dan al-qawaid alfiqiyyah. Aturan fiqh adalah ilmu yang membantu secara mekanis dalam masalah furu. Aturan fiqh juga dirumuskan sebagai penyederhanaan dalam masalah furu’ atau fiqhiyyah. Dalam literasi hukum Islam, antara aturan proposal dan aturan fiqh terkadang terjadi pembauran.

Semakin majunya peradaban konsep ekonomi syariah mulai menjadi perbincangan baik dalam dunia akademisi maupun praktisi.  Banyak pihak mengakui, perkembangan ekonomi syariah telah mencapai puncaknya untuk diyakini sebagai jalan keselamatan ekonomi umat manusia dan menggantikan ekonomi kapitalis dan sosialis yang dirasa kurang mampu memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan umat.

Dilingkungan praktisi, banyak pula ekonom perbankan konvensional, yang mulai melirik perbankan syariah. Hal ini ditandai dengan munculnya bank-bank syariah yang lahir dari rahim bank konvensional. Berbagai upaya dilakukan oleh masing-masing pihak manajemen untuk menjadi muallaf, yakni sistem perbankan syariah demi mempertahankan dan memberikan kepuasan kepada nasabah. Ditambah lagi, viral-nya adanya fatwa haram terhadap bunga bank di berbagai media. Hal ini sangat mempengaruhi keyakinan konsumen untuk menjauhkan diri dari haramnya bunga bank konvensional.

Kebangkitan ekonomi syariah menjadi jalan untuk menegakkan syariat Islam khususnya dalam bidang muamalah. Berbagai bank syariah bermunculan beriringan dengan meningkatnya kepekaan dan kepercayaan masyarakat pada lembaga berlabel syariah. Di sisi lain, berdirinya perbankan syariah, koperasi syariah, dan lembaga keuangan syariah lainnya, telah menggerakkan para ahli hukum Islam (fuqaha) untuk mengadakan pengembangan pemikiran hukum Islam terkait dengan kebutuhan yang harus dipenuhi terhadap segala pesoalan yang ada pada ekonomi perbankan syariah. Untuk memenuhi dan menjawab tantangan itu, para ulama diberbagai lapisan telah berusaha melakukan kajian-kajian hukum Islam secara metodologis yang kritis atas manhaj (metode) yang sebelumnya pernah digunakan oleh para ulama klasik dibidang ilmu ushul fiqh ataupun kaidah fiqh.

Berkembangnya pengetahuan mengenai syariah dalam berbagai elemen. Membuat para ahli fiqh ikut andil untuk merumuskan berbagai hukum yang menjadi problematika. Kaidah Fiqh merupakan ilmu yang membantu secara mekanis dalam masalah-masalah furu‟. Kaidah fiqh juga dirumuskan untuk menyederhanakan dalam masalah furu‟ atau fiqiyyah. Dalam literasi hukum Islam, kedua kaidah ini terkadang saling membaur dalam artian terkadang kaidah ushul tidak terlepas dalam bahasan yang sama dengan kaidah fiqh meskipun demikian masing-masing memiliki batasan dan jangkauan tersendiri. Ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah Syihabuddin al-Qarafi (w.684) dalam kitabnya al-Furuq. (Said Aqil al-Munawwar: 1998)

Literasi kaidah fiqh terus berkembang secara signifikan dari masa ke masa. Bahkan, telah terkumpul mencapai angka seribuan. Oleh karena itu, untuk memudahkan sebaran kaidah tersebut, maka para ulama yang keahliannya dibidang hukum banyak yang menulis kaidah-kaidah fiqh dalam bidang tertentu. Semisal kaidah fiqh khusus dalam bidang ibadah mahdhah, siyasah, qadla (peradilan) jinayah, munakahat, mu‟amalah dan lainnya. (H.A. Djazuli: 2014)

INTERPRETASI

Kaidah fiqh memilki makna Ahli fiqh (fuqaha) merumuskan definisi kaidah fiqh dengan bahasa yang berbeda-beda meskipun subtasnsinya adalah sama. Kata kaidah fiqh merupakan susunan dua kata yang bersumber dari bahasa Arab al-qa‟idah yang secara etimologi memiliki arti asas, dasar, fondasi dengan bentuk al-qawa‟id yaitu, serangkain kaidah-kaidah. 

Adapun penelitian dalam konteks keindonesiaan yang dilakukan oleh beberapa penulis yang bidang memiliki kualifikasi dalam hukum Islam diantaranya adalah, H.A. Djazuli, 2014, dalam bukunya, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Penulis membahas lima kaidah dasar (asasi), melanjutkan pada bahasan kaidah-kaidah yang berskala umum, kaidah-kaidah khusus, juga membahas kaidah-kaidah berskala prioritas dan dikahiri dengan kaidah-kaidah dalam skala perkembangan.

Kaidah Fiqh Umum yang Berkaitan dengan Fiqh Muamalah

Pertama, “Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan” Berkaitan dengan fikih mua‟amalah, atas dasar keumuman kaidah ini, segala bentuk transaksi yang diciptakan manusia adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya. 

Kedua, “Keperluan itu dapat menduduki posiisi darurat.” Secara umum suatu akad itu dianggap sah apabila rukun dan syarat terpenuhi. Meskipun demikian untuk memenuhi kebutuhan atau hajat manusia. Maka tujuan syariah memberikan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu syariah memberikan kemudahan dalam suatu akad tertentu yang objeknya belum terwujud. Semisal bolehnya akad “salam” yang hanya menyebutkan ukuran dan sifatsifat objek yang dipesan.

Ketiga, “Dimana terdapat kemaslahatan disana terdapat hukum Allah” Dalam sistem pencatatan dan laporan keuangan (akuntansi) terdapat dua sistem yang masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Oleh karena itu, LKS boleh menggunakan prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya (cash basis) atau LKS tersebut menggunakan prinsip akuntansi yang membolehkan  

Keempat, “Tindakan pemimpin (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti kemashlahatan”. Berdasarka kaidah ini, suatu keharusan bagi Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengembangan serta perlindungan terhadap Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terkait ancaman moneeter. 

Kaidah Fiqh dalam Bidang Muamalah

Pertama, “Pada dasarnya semua bentuk mu‟amalah itu boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Kaidah ini dapat diterapkan pada perkembangan transaksitransaksi kekinian. Semisal bursa efek syari‟ah. Pada dasarnya efek syariah di pasar sekunder diperbolehkan. Bursa efek merupakan bagian dari fiqh mu‟amalah sehingga hukum asalnya adalah diperbolehkan.

Kedua, “Resiko sebanding dengan manfaat” Kaidah ini digunakan terkait pada penjaminan pengembalian modal pada pembiayaan mudharabah, musyarakah, dan wakalah bil istismar. Transaksi mudlarabah itu dibentuk atas dasar amanah, maka pemilik modal tidak boleh meminta pada pengelola untuk menjamin pengembalian modal. Apabila transaksi mudlarabah tersebut mengalami kerugian maka berdasarkan kaidah diatas maka pengelola tidak wajib mengembalikan modal secara penuh. 

Ketiga, “ Tidak boleh menjalankan harta orang lain tanpa seizinnya” berdasarkan kaidah ini, seorang penjual harus pemiliki barang. Oleh karena itu dilarang melakukan bai‟ al-Ma‟dum. Atau melakukan penjualan atas barang (efek syari‟ah) yang belum dimiliki (shart selling).

Keempat, “Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan terlebih dahulu”. Kaidah ini berkaitan dengan kaidah sebelumnya. Pada awalnya, seseorang tidak dibolehkan menjual harta orang lain tanpa ijin pemiliknya. Meskipun demikian apa bila terlanjur menjual barang tanpa seijin pemilik dan pemilik akhirnya mombolehkan maka berdasakan kaidah ini maka transaksi tersebut telah sah. 

Kelima, “Setiap hutang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi piutang/muqaridh) adalah riba”. Kiadah ini memiliki cakupan yang luas. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah lembaga komersil yang menunjang peningkatan perekonomian umat. Dalam akad qardh, yaitu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bagi nasabah harus mengembalikan pinjaman yang diterima dari LKS sesuai akad yang disepakati. Berdasarkan kaidah ini, LKS tidak boleh mengambil keuntungan dari nasabah. Untuk memenuhi rasa keadalilan, maka nasabah dibebankan pada biaya administrasi. 

Keenam, “Yang dikaitkan (janji) dengan syarat wajib dipenuhi apabila syaratnya terpenuhi” Kaidah ini dapat diterapkan pada persoalan target kinerja karyawan. Misalkan seorang marketing diberikan motivasi kinerja dalam bentuk target capaian dengan imbalan insentif. Apabila seorang karyawan diberi janji akan mendapatkan reword berupa uang senilai Rp. 10.000.000,00 apabila berhasil menjualkan 10 unit sepeda motor tiap bulan dalam jangka satu satu tahun. Maka apa bila hal tersebut terpenuhi maka karyawan tersebut harus mendapatkan insentif yang dijanjikan. 

Ketujuh, “Hukum ashal transaksi itu keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.” Berdasarkan kaidah ini, tidak dianggap sah suatu akad apabila salah satu pihak dibawah tekanan pihak lain, atau terjadi unsur keterpaksaan dalam akad tersebut.

Kedelapan, “Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan” Dalam hukum Islam, suatu akad yang bathal maka dianggap tidak pernah terjadi adanya akad. Lembaga Keuangan Syariah (LKM) tidak boleh melakukan transaksi dengan bank konvensional yang menggunakan suku bunga, meskipun bunga dibolehkan oleh pihak lain.

Kesembilan, “Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”. Kaiadah ini dapat terapkan dalam kasus sewa menyewa. Semisal, seseorang menyewa mobil jenis penumpang, namun digunakan untuk mengangkut barang dengan beban berat sehingga terjadi kerusakan. Berdasarkan kaidah ini, penyewa harus memperbaiki (ganti rugi / ongkos kerusakan) dan tidak perlu membayar ongkos sewa.

Kesepuluh, “Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut” Objek suatu akad itu dapat berupa jual beli barang untuk atau sewa menyewa. Bahkan berupa jasa seperti broker. 

Kesebelas, “Apa yang boleh dijual boleh juga digadaikan.” Kebanyakan barang yang bisa dijual, bisa pula digadaikan. Semisal, motor, mobil dan lainya. Meskipun demikian terdapat pula pengecualian. Semisal pohon kayu jati atau lainnya yang masih tertanam bisa dijual akan tetapi tidak bisa disewakan karena tidak bisa dipindah atau diambil manfaatnya. 

Keduabelas, “Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar hukum yang telah tetap.” Kaidah ini berlaku pada akad murabbahah di LKS. Seorang debt collector suatu LKS tidak boleh semena-mena merampas motor dari nasabah disebabkan telat bayar atau menuunggak kecuali membawa bukti sertifikat fidusia. Sertifikat fidusia tersebut didasarkan pada Undang-undang nomor 42 tahun 1999. Ketigabelas, “Apabila suatu akad batal maka batal pula apa yang ada dalam genggamannya” .

EVALUASI

Kaidah ushul dan kaidah fiqh merupakan dua hal yang berbeda. Baik penggunaan ataupun cakupannya. Terkadang dua kaidah ini dikaji secara bersamaan dalam ilmu ushul fiqh. Keduanya disinyalir hampir sama, sehingga terkesan kaidah ushul dan sekaligus berlaku sebagai kaidah fiqh. Namun hal ini menimbulkan tidak mungkinnya terjadi konsesus kehujjah-an. Apabila kedua kaidah tersebut berlaku secara mandiri, tidak terjadi pembauran (tidak bersekutu) maka kehujjahan-nya ada dua ketentuan.

Adanya kaidah fiqh yang telah dibuat oleh para ahli fiqh snagat membantu umat untuk senantiasa bermuamalah dengan jalur yang sesuai dengan syariat. Ketika aturan telah terbentuk maka tugas dari setiap muslim adalah mengikuti aturan tersebut. Kaidah-kaidah tersebut dirumuskan untuk memudahkan umat dalam menyiasati berbagai problematika dalam dunia muamalah. 

REKOMENDASI

Untuk para pelaku yang bekerja dan bergelut dalam bidang muamalah, pemahaman mengenai kaidah-kaidah fiqh muamalah menjadi sangat urgen untuk dipelajari. Ilmu fiqih selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Maka dari itu tidak ada waktu untuk terus berdiam dan tidak mau berjalan untuk ikut andil dalam perkembangan yang ada.

Anisa Rachma Agustina

Tinggalkan Balasan