Oleh : Mahsun
Memasuki tahun politik jelang Pemilu 2024 kembali menguat seruan untuk menjauhkan rumah ibadah dari kegiatan kampanye politik praktis. Dewan Masjid Indonesia (DMI) menerbitkan edaran tentang sterilasasi masjid dan mushala dari kampanye politik. Hal ini mendapat dukungan dari Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin. Pada saat kunjungan ke Solo (1/3/2023) ditegaskan, sama halnya dengan masjid dan mushala, rumah ibadah lain juga tidak boleh digunakan kampanye politik (JawaPos.com).
Sebelumya (4/1/2023) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Ketua Umumnya, KH Yahya Cholil Staquf atau akrab disapa Gus Yahya, mengeluarkan larangan serupa jelang hajatan politik 2024 demi mencegah perpecahan antar umat beragama (kompas.tv).
Pada kesempatan selanjutnya (14/1/2023) para tokoh lintas agama berhimpun menggelar “deklarasi damai umat beragama” bertempat di Kantor Kementerian Agama RI. Salah satu maklumat pokoknya adalah komitmen untuk tidak menggelar kampanye politik di rumah ibadah dalam pelbagai bentuknya (merdeka.com)
Larangan kampanye di tempat ibadat sudah diatur oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu). Berdasarkan regulasi ini, maka kampanye politik di rumah ibadah diancam dengan sanksi pidana penjara selama dua tahun.
Sensifitas rumah ibadah
Rumah Ibadah dan identitas agama saling berkelindan, serupa dua sisi mata uang, tidak terpisahkan. Rumah ibadah merupakan simbol dari agama sekaligus tempat berpusatnya sekumpulan pemeluk agama (umat beragama) tertentu. Keindahan bangunan rumah ibadah menjadi kebanggaan bagi pemeluk agama yang memilikinya atau yang mengikatkan diri dengan keberadaan rumah ibadah tersebut. Pun sejarah rumah ibadah sering menjadi simpul dari sejarah umat agama tertentu.
Terdapat ikatan yang tak terlihat antara rumah ibadah dengan pemeluk agama. rumah ibadah adalah identitas bagi pemeluk agama yang memiliknya. Karenanya, ketika terjadi peristiwa negatif terhadap rumah agama, pasti akan menimbulkan respon negatif dari yang umat yang memilikinya.
Pelbagai kejadian perusakan rumah ibadah di negeri ini kita dapati menunjukkan adanya konflik antara umat pemilik rumah ibadah itu dengan kelompok lainnya. Tidak hanya antara agama yang berbeda, sejarah di negeri ini telah merekam peristiwa gesekan terkait rumah ibadah antar umat seagama namun berbeda aliran.
Rumah ibadah memiliki sensifitas yang luar biasa terhadap konflik yang bahkan ditimbulkan oleh perbedaan penafsiran dalam ajaran agama yang sama. Terlebih pada agama yang berbeda, dipastikan potensi gesekan horizontalnya juga sangat kuat. Sebut saja peristiwa ambon yang sampai hari ini dapat disebut sebagai salah satu sejarah hitam konflik yang diatasnamakan agama (antar agama yang berbeda).
Belajar dari sejarah konflik umat beragama di negeri kita, dibutuhkan satu ketegasan sikap bersama dalam rangka tindak pencegahan. Kesepakatan bersama tentang pentingnya perdamaian antara sesama umat seagama dan antar umat beragama. Salah satunya adalah menjauhkan rumah ibadah dari penggunaan sebagai alat untuk kampanye politik praktis.
Kegiatan kampanye meniscayakan agitasi dan propaganda untuk menggiring masyarakat agar mengikuti tujuan yang telah ditetapkan oleh pelaku. Narasi-narasi yang diproduksi oleh pelaku kampanye cenderung mencari titik lemah lawan politik. Perbedaan-perbedaan agama, aliran, mazhab, kelompok agama dieksplotiasi sedemikian rupa dalam rangka menggiring pilihan masyarakat (pengguna rumah ibadah).
terdapat fenomena pemanfaatan teks teks suci agama sebagai materi kampanye. Lalu, Muncullah frase-frase baru atau labelisasi bagi pihak lawan dengan menyebutkan julukan tertentu. Celakanya, opini “kelompok kita” versus “kelompok mereka” terus tumbuh sedemikian rupa sampai pada titik menjadi musuh.
Sampai pada titik ini, konteks musuh dalam bangunan kampanye sudah melembaga menjadi perbedaan identitas. Spektrum perbedaan ini selanjutnya terus berkembang ke area kehidupan lainnya, seperti sosial dan ekonomi misalnya. Bukan sekadar perbedaan pilihan lembaga politik atau jago politik.
Jika sudah seperti ini, maka rumah ibadah tidak lagi menjadi pusat inkubasi dan tranmisi bagi nilai keshalihan, kemanusian dan kemaslahatan. Idealisme rumah ibadah dihancurkan oleh kepentingan sesaat politik praktis. Akibat dari penggunaan sebagai tempat kampanye politik praktis, rumah ibadah berubah menjadi pusat inkubasi dan tranmisi konflik horizontal. Sedemikian ngerinya.
Rumah ibadah sebagai pusat moderasi beragama
Realitas kehidupan keseharian bangsa Indoensia membutuhkan harmoni bagi semua rumah ibadah dan umat beragama. Kenapa? Karena di bangsa kita ini hidup banyak agama. Negara ini tidak hanya didiami oleh umat seagama saja. Dalam satuan wilayah terkecil kita yakni Rukun Tetangga (RT) jamak didapati warga dengan beragam agama. Warga beragama Islam bertetangga dengan yang memeluk agama Kristen atau Budha atau yang lainnya. Dalam satuan luas area tertentu, jamak dilhat rumah ibadah yang saling berdekatan , masjid bersisian dengan gereja misalnya.
Karena itu, dibutuhkan komitmen bersama untuk tetap mendudukkan rumah ibadah sebagai pusat pembentukan dan penyebaran nilai dan sikap keimanan, keshalihan, kemanusiaan dan kemaslahatan bagi sesama manusia. Tidak hanya terbatas pada yang seagama, melainkan penebar kebaikan dan kemanfaatan bagi yang berbeda agama juga.
Rumah ibadah harus dijadikan sebagai pusat moderasi beragama. Dalam rumah ibadah terus dilangsungkan proses yang mampu menumbuhkan sikap dan perilaku umat beragama yang anti kekerasan, toleransi terhadap pihak yang berbeda, memiliki komimten kebangsaan, dan menghargai terhadap tradisi yang sudah berkembang di masyarakat.
Melalui rumah ibadah dibangun cara pandang, sikap dan perilaku umat beragama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, selalu berupaya untuk membangun kemaslahatan dengan berlandaskan pada prinsip keadilan dan keberimbangan. Serta jangan sampai tertinggal, selalu taat konstitusi sebagai kesepakatan hidup berbangsa dan bernegara di Republik tercinta ini. ***
-Penulis adalah Penyuluh Agama Islam, mahasiswa program S3 Unwahas Semarang, Peserta Program KSU Baznas 2021