Esai

Ora Kena Wong Pilis: Arti, Filosofi, dan Penempatannya

Pelita di Ujung Senja

DISTINGSI.com – Dalam kehidupan masyarakat Jawa, banyak ungkapan yang sarat makna dan nilai filosofi yang dalam. Salah satunya adalah “Ora Kena Wong Pilis”, yang secara harfiah berarti “tidak boleh orang pilis” atau watak orang yang selalu membuat kesulitan orang lain.

Dalam khazanah kearifan lokal Jawa, ada sebuah ungkapan yang mengandung makna mendalam: “Ora kena wong pilis”. Secara harfiah, ini berarti “tidak boleh orang pilis”. Namun, makna sebenarnya jauh melampaui terjemahan kata per kata. “Wong pilis” bukanlah sekadar sebutan untuk individu, melainkan sebuah gambaran karakter atau perilaku yang dianggap tidak pantas, tidak beretika, atau merugikan dalam tatanan sosial masyarakat Jawa.

Makna “Wong Pilis”

Istilah “pilis” dalam konteks ini sejatinya mengacu pada ramuan tradisional yang biasa dioleskan pada dahi, terutama setelah melahirkan atau saat kepala terasa pening. Ramuan ini, meskipun bermanfaat secara fisik, secara metaforis melambangkan sesuatu yang menutupi, membatasi pandangan, atau bahkan menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan jika digunakan secara berlebihan atau tidak tepat.

Maka “wong pilis” dapat dimaknai sebagai individu yang beragam. Menurut Hamidulloh Ibda (2025), terdapat beberapa makna orang pilis. Pertama, pikirannya tertutup atau picik: Mereka cenderung tidak mau menerima pandangan lain, sulit beradaptasi, atau terpaku pada cara pandang sempit.

Kedua, berpandangan egois: Kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan bersama, sehingga seringkali merugikan orang lain. Ketiga, berkelakuan munafik: Ada perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan, menciptakan ketidakpercayaan dan kekecewaan. Keempat, mudah terprovokasi atau menimbulkan masalah: Mereka cenderung menjadi sumber konflik atau kegaduhan dalam komunitas. Kelima, memiliki niat tersembunyi yang tidak baik: Seringkali bergerak di balik layar dengan tujuan merugikan atau memanfaatkan orang lain.

Intinya, “wong pilis” adalah representasi dari karakter-karakter negatif yang dapat merusak harmoni dan tatanan sosial. Namun lebih dari sekadar terjemahan harfiah, ungkapan ini mengandung pesan moral yang kuat mengenai siapa yang pantas berada dalam suatu lingkungan atau memegang tanggung jawab tertentu.

Istilah “wong pilis” bukan sekadar menunjuk pada orang dengan tanda fisik berupa pilis di dahi. Dalam pemahaman budaya, “pilis” mengandung makna simbolik sebagai penanda bahwa seseorang belum layak atau belum cukup matang untuk mengemban suatu amanah. Dalam konteks ini, “wong pilis” merujuk pada orang yang belum memiliki kecakapan, kedewasaan, atau perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku. Mereka mungkin sembrono dalam berpikir, emosional dalam bertindak, atau terlalu mementingkan diri sendiri dalam mengambil keputusan.

Ungkapan ini kerap digunakan dalam konteks pemilihan pemimpin, pengelolaan tanggung jawab sosial, atau dalam situasi tertentu yang membutuhkan keteladanan. Ketika seseorang berkata “ora kena wong pilis”, itu artinya jabatan atau peran tertentu tidak boleh dipegang oleh orang yang masih bersifat kekanak-kanakan, tidak bijak, atau tidak memiliki integritas moral. Ungkapan ini menjadi bentuk seleksi nilai yang dilakukan oleh masyarakat secara sosial dan kultural.

Filosofi di balik ungkapan ini sejalan dengan prinsip dalam budaya Jawa yang sangat menjunjung tinggi keseimbangan, ketepatan sikap, dan keharmonisan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, setiap orang punya perannya masing-masing. Namun, tidak semua orang cocok untuk setiap peran. Ada syarat moral dan etika yang harus dipenuhi, terutama jika seseorang ingin menjadi panutan, pemimpin, atau pengayom masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk menghindari sikap grusa-grusu, angkara murka, dan adigang-adigung-adiguna — tiga sifat yang sering melekat pada “wong pilis”.

Penempatan ungkapan ini biasanya muncul dalam percakapan sehari-hari yang bernuansa peringatan atau penilaian. Misalnya, ketika seseorang mencalonkan diri untuk posisi yang tinggi padahal belum menunjukkan kematangan perilaku, masyarakat akan menyindir, “Ora kena wong pilis, lho.” Artinya, posisi itu terlalu berat atau terlalu mulia untuk diberikan kepada orang yang belum siap secara mental dan spiritual. Ini bukan soal diskriminasi, melainkan bentuk seleksi alam yang berdasarkan pada etika sosial dan kepatutan budaya.

Dalam kehidupan modern sekalipun, makna “ora kena wong pilis” tetap relevan. Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya perubahan zaman, banyak orang berlomba-lomba mengejar posisi, pengaruh, atau kekuasaan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang belum memiliki landasan moral yang kuat, mudah terbawa arus kepentingan, atau bahkan kehilangan arah ketika dihadapkan pada tanggung jawab. Maka ungkapan ini hadir sebagai pengingat: bahwa menjadi pemimpin, pengurus, atau bahkan tokoh masyarakat bukanlah soal ambisi, tapi soal kapasitas dan kelayakan diri.

Filosofi di Balik Larangan

Larangan untuk menjadi “wong pilis” bukanlah sekadar aturan sosial, melainkan sebuah filosofi hidup yang mengedepankan nilai-nilai luhur. Filosofi ini menekankan pentingnya sejumlah aspek. Menurut Andrian Gandi Wijanarko (2025), terdapat beberapa filosofi. Pertama, pikiran yang jernih dan terbuka: Masyarakat Jawa sangat menghargai kemampuan untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, berempati, dan menerima perbedaan. Kedua, keselarasan dan kerukunan: Hidup bersama dalam masyarakat membutuhkan individu-individu yang mampu menjaga kedamaian dan menghindari konflik.

Ketiga, kejujuran dan integritas: Kredibilitas seseorang sangat bergantung pada konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Keempat, tanggung jawab sosial: Setiap individu diharapkan berkontribusi positif bagi komunitasnya, bukan justru menjadi beban atau sumber masalah. Kelima, adab dan tata krama: Perilaku yang santun dan menghormati orang lain adalah fondasi penting dalam interaksi sosial.

Dengan menghindari karakter “wong pilis”, seseorang diajak untuk menjadi individu yang lebih baik, berkontribusi positif, dan menjaga keharmonisan lingkungannya. Ini adalah ajaran untuk membangun karakter yang kuat, bermoral, dan berguna bagi masyarakat.

Penempatan dalam Kehidupan Sehari-hari

Filosofi “Ora kena wong pilis” memiliki penempatan yang relevan dalam berbagai aspek kehidupan modern, jauh melampaui batasan waktu dan tempat.

Pertama, dalam lingkungan kerja. Menjadi “wong pilis” di tempat kerja berarti menjadi rekan yang sulit diajak bekerja sama, suka bergosip, menyebarkan intrik, atau justru tidak bertanggung jawab. Filosofi ini mengajarkan pentingnya kolaborasi, kejujuran, dan profesionalisme.

Kedua, dalam hubungan sosial. Baik itu dalam keluarga, pertemanan, atau lingkungan masyarakat yang lebih luas, menghindari sifat “pilis” berarti menjadi individu yang dapat dipercaya, menghargai perbedaan pendapat, dan tidak mudah menyebarkan kebencian atau fitnah. Ini mendorong terciptanya hubungan yang sehat dan saling mendukung.

Ketiga, dalam dunia digital. Di era informasi yang serba cepat, “wong pilis” bisa menjelma menjadi penyebar hoaks, provokator di media sosial, atau individu yang melakukan cyberbullying. Larangan ini mengingatkan kita untuk selalu kritis, bertanggung jawab, dan menyebarkan konten yang positif dan konstruktif.

Keempat, dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin yang “pilis” akan mementingkan diri sendiri, tidak transparan, dan cenderung memecah belah. Filosofi ini mengajarkan pentingnya kepemimpinan yang adil, bijaksana, mendengarkan rakyat, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Kelima, dalam pengembangan diri. Lebih dari sekadar interaksi dengan orang lain, “Ora kena wong pilis” juga merupakan panggilan untuk introspeksi. Apakah kita sudah menjadi individu yang jujur pada diri sendiri? Apakah kita terbuka untuk belajar dan berkembang?

Singkatnya, “Ora kena wong pilis” adalah sebuah peringatan dan panduan. Ini bukan sekadar larangan, melainkan ajakan untuk menjadi manusia seutuhnya, yang memiliki hati nurani, pikiran yang bersih, dan perilaku yang mulia. Ini adalah cerminan dari cita-cita masyarakat Jawa untuk selalu hidup dalam harmoni, kedamaian, dan saling menghormati.

“Ora kena wong pilis” bukan hanya kritik sosial, tapi juga ajaran etis. Ia mengajarkan bahwa kedudukan harus diisi oleh mereka yang dewasa dalam berpikir, bersih dalam niat, dan bijak dalam bertindak. Dalam budaya Jawa, seseorang yang pantas diberi peran besar bukan yang lantang bicara atau pandai bersilat lidah, tetapi yang mampu ngemong, nyengkuyung, dan ngajeni liyan — memelihara, mendukung, dan menghormati sesama.

Maka dari itu, ungkapan ini layak direnungkan dalam-dalam, bukan sekadar untuk mengkritik orang lain, tapi untuk mengukur diri sendiri. Jangan-jangan dalam semangat ingin tampil dan memimpin, kita sendiri masih termasuk “wong pilis” yang belum layak duduk di tempat tinggi. Sebab dalam budaya Jawa, menjadi besar bukan tentang posisi, melainkan tentang kemampuan mengendalikan diri dan mengayomi banyak hati.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan