Artikel

Pendidikan sebagai Jalan Kebudayaan

Ilustrasi Distingsi.com

Oleh Junaidi Abdul Munif

Indonesia memiliki sejarah yang panjang dengan kebudayaan. Takdir sebagai wilayah yang diberi anugerah oleh Tuhan dengan kesuburan tanah dan keragaman rempah-rempah, membuat kepulauan ini menjadi sasaran imperialisme-kolonialisme negara-negara Eropa. Berbagai negara datang ke Nusantara, membawa serta agama dan budaya mereka. Karya agung Dennys Lombard, seri Nusa Jawa: Silang Budaya sebanyak tiga buku telah menunjukkan hal itu.

Pengalaman menunjukkan bahwa kita memiliki pertahanan budaya yang sungguh kuat. Beratus tahun dijajah oleh Belanda, tidak menjadikan kita pandai berbahasa Belanda. Tengoklah Amerika Serikat, Australia, Brazil, di mana bahasa negara-negara penjajahnyamenjadi bahasa nasional negara jajahan.

Tapi kita kini menghadapi persoalan pelik. Kenakalan remaja dan disrupsi atas kebudayaan sendiri menjadi keprihatinan kita bersama. Kasus siswa menghajar guru hingga meninggal dunia di Madura, pelajar yang merampok mobil dan membunuh sopir taksi online di Semarang, tawuran pelajar yang seolah tiada hentinya, seks bebas di kalangan belajar yang indikatornya pelajar hamil di luar nikah, adalah sederet persoalan pendidikan kita saat ini.

Tentu globalisasi dengan mudah kita persalahkan sebagai biang masalah kemerosotan budaya kita. Namun benarkah demikian? Pada tahun 1980-an, pandangan demikian sudah muncul, dengan anggapan bahwa teknologi modern berperan besar merubah budaya dan nilai-nilai masyarakat Indonesia. Teknologi menjadi salah satu faktor saja dari sekian faktor yang menggeser nilai-nilai masyarakat.

Manusia telah kehilangan tujuan hidupnya, fungsinya dalam masyarakat, dan fungsinya sebagai makhluk Tuhan di dunia. Karena kehilangan tujuan itu, ekses yang timbul adalah persoalan-persoalan negatif. Martojo menyebutnya dengan pathologi sosial dengan gejala antara lain kemiskinan, pelacuran, frustrasi, apatis, kenakalan dan kejahatan (Moemponi Martojo, 1981).

Peran Pendidikan

Dari contoh bahasa di atas kita patut merasa optimis bahwa sesungguhnya kita memiliki modal budaya yang kuat untuk tidak mudah larut dalam gegar budaya asing. Kita sebelumnya cukup sering salah memandang kebudayaan dari hal-hal yang material; cagar budaya, seni tradisi, adat istiadat. Padahal kebudayaan lebih kompleks dari itu. 

Nomenklatur “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan” (Kemdikbud) menyiratkan makna bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Membicarakan pendidikan adalah membicarakan kebudayaan.

Karena pendidikan adalah kebudayaan, maka pendidikan juga merupakan entitas yang kompleks. Pendidikan berurusan dengan manusia yang juga kompleks dan dinamis. Pendidikan yang kompleks itu perlu diterjemahkan ke dalam sub-pendidikan yang aplikatif dalam rangka menghasilkan luaran (output) pendidikan yang positif.    

Pemerintah merumuskan tiga macam jenis satuan pendidikan, yaitu pendidikan formal, non formal, dan informal. Ketiganya memiliki peran yang sama-sama kuat untuk membentuk generasi muda yang berbudaya. Mengapa pemerintah sampai pada kesimpulan yang demikian?

Hal ini pararel dengan istilah pendidikan dalam Islam, yaitu ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Pertama, ta’lim yang berasal dari bahasa Arab ‘alama memiliki arti tahu, yang paralel dengan knowledge (pengetahuan). Pendidikan dalam ta’lim adalan transfer of knowledge (transfer pengetahuan) dari guru ke peserta didik. Model ini banyak kita temukan dalam sistem pendidikan formal, di mana kelas yang berjenjang merupakan manifestasi pengetahuan mana yang akan diberikan pada peserta didik.

Kedua, tarbiyah berasal dari akar kata rabba. Tuhan juga disebut dengan Rabbun yang mempunyai makna sebagai Zat yang mengasuh. Naquib Al-Attas memaknai tarbiyah antara lain sebagai “mengasuh, memelihara, dan menjinakkan (Munarji, 2004). Dari definisi itu ada nuansa suri tauladan dari guru pada peserta didik. Model pendidikan tarbiyah ini antara lain kita temukan dalam pola pendidikan keluarga.

Dan ketiga, ta’dib berasal dari adab, memiliki arti tata krama, sopan santun. Model pendidikan ini kita temukan dalam pendidikan non formal seperti pesantren, sanggar, madrasah diniyyah. Lembaga-lembaga pendidikan non formal yang mudah kita temukan di kehiduapn sekitar.

Adab atau ilmu etik menurut Ki Hajar Dewantara adalah ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan (Ki Hajar Dewantara, 1961).

Jelas bahwa adab yang dapat kita maknai sebagai kebudayaan berpijak pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, nilai baik maupun buruk. Nilai-nilai itu akan menjadi pertimbangan kita untuk melakukan perbuatan. Pendidikan memiliki peran untuk memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai tersebut, memilah mana nilai yang baik, untuk kemudian diejawantahkan dalam perbuatan.

Kita semua adalah guru

Pendidikan yang diklasifikasi dalam tiga istilah dan fungsi itu perlu kita kuatkan di masing-masing satuan pendidikan. Untuk pendidikan formal yang klasikal (ta’lim), pembelajaran disusun dengan kerangka nilai-nilai sebagai kognisi dan titik pijak untuk melakukan perbuatan. Keterbatasan waktu (intensitas) yang minimum antara guru dan murid sedikit menyulitkan kita untuk tampil dalam pola pendidikan pengasuhan (tarbiyah).

Dalam pendidikan informal (tarbiyah) yang mengandaikan peran penting pengasuhan keluarga, terutama orangtua dan saudara. Peran kita sebagai orangtua, kakak, saudara, adalah menguatkan nilai-nilai yang disampaikan dalam pendidikan formal. Kita harus menjadi teladan untuk memilah nilai, memilih nilai yang baik, dan mewujudkannya dalam perbuatan yang baik pula.

Sementara dalam pendidikan non formal (ta’dib), figuritas kiai di pesantren, ustadz di madrasah diniyah, pengelola sanggar, ataupun tokoh masyarakat, mereka adalah guru yang berperan penting dalam pemberadaban anak-anak kita. Pada pendidikan nonformal ini kita sesungguhnya tidak hanya dididik oleh satuan pendidikan, melainkan juga dididik oleh sub-sub pendidikan informal; media massa, masyarakat, internet, dan lain-lain.

Karena itulah kita sesungguhnya adalah guru. Di sekolah kita adalah guru bagi peserta didik. Di rumah kita adalah guru bagi anak-anak dan keluarga. Di masyarakat kita adalah guru bagi masyarakat. Dengan begitu pendidikan sebagai jalan kebudayan akan menghasilkan insan-insan Indonesia yang beradab.

Junaidi Abdul Munif, Mantan Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan