Oleh : Aidilia Adhana Rizky
Setiap daerah pasti memiliki tradisinya sendiri yang dipercayainya untuk keselematan dan kemakmuran Bersama. Masyarakat Jawa memiliki beragam tradisi dari nenek moyang yang selalu dipercaya untuk menjaga kemakmuran dan keselamatan. Salah satu contoh tradisi Jawa yaitu menghitung weton calon pengantin saat hendak melangsungkan pernikahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), weton adalah hari lahir seseorang dengan pasaran Jawanya, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Masyarakat Jawa kebanyakan masih berpegang teguh pada hitungan weton jodoh untuk mengetahui baik buruk atau cocok dan tidak cocok dengan pasangan mereka.
Masyarakat Jawa selalu melakukan tradisi tersebut yang dipercaya untuk mengetahui kecocokan pasangan dan juga baik buruk tentang pasangan tersebut. Banyak perbedaan pendapat dengan tradisi ini, ada yang berpendapat tradisi ini bertentangan dengan agama, karena tidak mempercayai takdir yang diberikan kepada Allah dan ada juga yang berpendapat bahwa tradisi ini tidak bertentangan dengan agama, asalkan tidak ada kemusyrikan di dalamnya. Dari permasalahan tersebut saya mewawancarai bapak Humaidi yaitu salah satu pendakwah masjid di kota Semarang, saya melalukan wawancara ini di rumah beliau.
Berikut adalah pendapat beliau tentang tradisi hitung weton. Pertama, adalah tentang landasan tradisi hitung-hitungan, beliau menjelaskan bahwa tradisi orang Jawa itu unik, salah satunya tradisi masalah hitung-hitungan, semisal jika seseorang ingin melangsungkan pernikahan, sebelum menikah kelahiran 2 calon pengantin tersebut dihitung terlebih dahulu,contoh lain jika seseorang ingin melangsungkan acara, harinya juga dihitung. Tradisi-tradisi seperti itu landasannya merupakan ilmu titen (ilmu tetap) yang dilakukan oleh nenek moyang, tradisi tersebut secara ilmiah dan literatur bukunya itu tidak ada, untuk sekarang kemungkinan buku dari hitung-hitungan tersebut sudah ada. Ilmu- ilmu tersebut merupakan ilmu titen orang-orang jaman dahulu karena dengan keyakinannya yang kuat sehingga menjadi landasan, menghitungnya juga tidak asal-asalan karena sudah tradisi jaman kuno, contohnya kalau orang A wetonnya minggu atau senin harus dapat ini, bahkan ada yang mengatakan ‘tibo sandang, tibo pangan, tibo pagepluk, tibo padi’, contohnya ada seseorang yang baru menikah kemudian selisih 2,3 bulan terkena musibah dan bahkan ada yang sampai meninggal, tetapi itu juga sudah takdir. Weton dalam ajaran islam memang tidak ada, weton itu merupakan ilmu titen yang merupakan ilmu yang dijalani oleh nenek moyang kita sejak jaman dahulu(ilmunya tidak ilmiah), pada jaman sekarang mungkin ilmunya sudah luntur tetapi orang jawa masih banyak yang meyakini ilmu tersebut, tetapi dijaman modernsasi ini juga diimbangi dengan ilmu logika, salah satu contohnya yaitu banyak orang yang mengadakan acara pada hari Sabtu dan Minggu karena hari tersebut adalah hari libur.
Kedua, pendapat tentang tradisi hitung-hitungan itu bertentangan dengan tauhid, menurut beliau masalah tradisi hitung-hitungan itu tidak ada hubungannya dengan tauhid, karena semuanya itu adalah takdir dari Allah SWT. Kita orang jawa memiliki keyakinan, keyakinan itu tidak bisa menghilangkan keragu-raguan. Tradisi tersebut tidak merusak tauhid, tetap kembalinya ke Allah SWT. Itu merupakan keyakinan orang Jawa yang sumbernya tetap kembali kepada Allah SWT.
Ketiga, nilai tasawuf dari tradisi hitung-hitungan tersebut, menurut beliau masalah tersebut pasti ada hubungannya dengan warisan leluhur, melestarikan budaya dan toleransi, nenek moyang kita yang beragama islam tetapi masih berkultur budaya(orang kuno), agama islam itu dari Arab, Gujarat, Sumatera sampai ke Indonesia itu lambat laun, ada yang adat Jawa, seperti sunan Kalijaga yang berdakwah dengan menggunakan pertunjukan wayang(budaya), filsafat- filsafat seperti itu ada hubungannya dengan nenek leluhur kita. Nilai-nilai tasawufnya tetap ada, memang kita harus mengikuti nenek moyang kita, kita bisa beragama itu juga turun-temurun, contoh kecilnya seperti orang tua kita berasal dari agama islam, maka dari itu otomatis kita juga akan ikut beragam islam, bisa dikatakan itu adalah warisan nilai-nilai leluhur kita, karena kultur budaya warisan itu ada nilai-nilai tasawuf. Ada nilai tasawuf tersendiri dalam nenek leluhur kita.
Keempat, pendapat tentang tradisi hitung-hitungan dapat melemahkan keyakinan kita terhadap Allah SWT. Menurut beliau tradisi hitung-hitungan tidak melemahkan keyakinan terhadap Allah SWT. Semua itu takdir dari Allah SWT. Itu semua sudah kepastian dari Allah SWT. hitung-hitungan weton seperti itu tidak merusak keyakinan kita terhadap Allah SWT. karena itu merupakan rangka ikhtiar manusia kepada Allah SWT. walaupun kita mengikuti perhitungan seperti itu tetapi ilmu tersebut sumbernya tetap dari Allah SWT. ada porsinya masing- masing kita hanya ikhtiar, hanya berusaha, tetap sumbernya dari Allah SWT.
Kelima, adalah pendapat orang jaman sekarang banyak yang mengatakan bahwa tradisi hitung-hitungan itu hukumnya haram, menurut beliau karena orang jaman sekarang itu tidak tau sejarahnya dari tradisi tersebut, ya semuanya itu memang lewat ilmu, mengapasih kalau yang kearab-arab.an baru dikatakan imannnya bagus, kalau kita dengan menggunakan tradisi jawa kenapa dikatakan itu haram, musyrik, menyekutukan Allah, jauh dari nilai-nilai islam, padahal itu sama, banyak orang jaman sekarang yang memandangnya seperti itu karena mereka tidak tau sejarahnya, hal tersebut yang menjadi kendala dari tradisi tersebut, tetapi itu juga membuka kritik, namanya perbandingan agama kritik itu boleh, tetapi harus tetap kita luruskan.