Oleh Hamidulloh Ibda
DISTINGSI.com – Di sebuah negeri yang indah dan kaya sumber daya alam, terpilihlah seorang presiden baru. Namanya Paijo, sosok yang dikenal sederhana, dengan logat khas kampung yang membuat rakyat jatuh cinta. Dalam kampanye, ia menjanjikan perubahan besar: infrastruktur megah, kehidupan sejahtera, dan kemakmuran yang akan membuat negeri ini menjadi “macan dunia.” Namun, siapa sangka, di balik senyumnya yang lebar dan janjinya yang manis, Paijo memiliki rencana yang kelak membawa negeri itu terperosok dalam lubang hutang yang dalam.
Hari pelantikan Paijo menjadi hari penuh haru dan kebanggaan. Ia berdiri di podium dengan jas kebesaran yang tampak kebesaran pula untuk tubuhnya yang kurus. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Rakyatku, ini adalah era baru! Kita akan membangun jembatan ke masa depan yang lebih cerah!” Sorak-sorai menggema di seluruh penjuru negeri. Rakyat percaya bahwa Paijo adalah “orang kita,” pemimpin dari akar rumput yang memahami penderitaan mereka.
Tidak butuh waktu lama bagi Paijo untuk mulai menunjukkan gebrakannya. Jalan-jalan dibangun, pelabuhan diperbesar, dan gedung pencakar langit mulai bermunculan di ibu kota. Namun, di balik pembangunan megah itu, ada satu fakta yang luput dari perhatian rakyat: hampir seluruh proyek tersebut dibiayai oleh hutang luar negeri.
Kebijakan “Ambil Dulu, Bayar Belakangan”
Paijo memiliki filosofi sederhana dalam menjalankan pemerintahannya: “Yang penting jalan dulu, urusan bayar belakangan!” Dengan keyakinan penuh, ia menandatangani kontrak dengan berbagai negara pemberi pinjaman. Dari jalur kereta cepat hingga stadion olimpiade, semuanya dibangun dengan utang yang menggunung. Ketika ditanya oleh salah satu wartawan tentang bagaimana cara membayar hutang tersebut, Paijo hanya tertawa sambil berkata, “Kalau negara lain bisa utang, kenapa kita nggak bisa? Lagi pula, kita punya banyak sawah dan tambang!”
Awalnya, rakyat terpukau oleh hasil kerja Paijo. Jalan tol membentang, bandara baru beroperasi, dan gedung-gedung megah berdiri kokoh. Namun, lambat laun, suara-suara sumbang mulai terdengar. Para ekonom memperingatkan bahwa hutang negara sudah mencapai titik kritis. Bunganya saja hampir tidak tertutup oleh pendapatan negara.
“Pak Presiden, bagaimana kita akan membayar semua ini?” tanya salah satu menteri ekonomi dalam rapat kabinet.
Paijo, dengan santainya, menjawab, “Tenang saja. Kalau kurang, kita pinjam lagi. Pokoknya proyek jangan berhenti. Rakyat suka lihat hasil!”
Namun, tidak semua menteri setuju. Beberapa dari mereka mencoba menasihati Paijo agar lebih bijaksana dalam mengambil pinjaman. Sayangnya, setiap kali ada yang berani mengkritik, Paijo hanya menuding sambil berkata, “Kamu ini nggak nasionalis! Saya bangun negeri ini demi rakyat, bukan demi korporat asing seperti yang kamu pikirkan!”
Lima tahun berlalu, dan Paijo berhasil memenangkan periode kedua. Namun, kali ini situasinya tidak lagi seindah sebelumnya. Banyak proyek yang terbengkalai karena anggaran habis untuk membayar bunga hutang. Pajak dinaikkan untuk menutup defisit, tapi itu justru membuat rakyat kecil semakin tercekik. Harga kebutuhan pokok melonjak, dan pengangguran meningkat karena banyak perusahaan gulung tikar akibat tekanan ekonomi.
Di sisi lain, Paijo tetap tampil di layar televisi dengan senyuman lebarnya. “Rakyatku, percayalah, ini hanya badai kecil. Setelah ini, kita akan menjadi negara maju! Kalian hanya perlu bersabar sedikit lagi.” Namun, di balik layar, istana presiden dipenuhi dengan laporan keuangan yang semakin memburuk. Bahkan, beberapa negara pemberi pinjaman sudah mulai mengancam akan menyita aset negara jika pembayaran tidak segera dilakukan.
Situasi mencapai puncaknya ketika salah satu lembaga internasional mengumumkan bahwa negeri itu resmi masuk dalam daftar negara dengan resiko gagal bayar tertinggi. Demonstrasi besar-besaran terjadi di ibu kota. Rakyat mulai menyadari bahwa kemegahan yang mereka nikmati selama ini hanyalah ilusi. Jalan-jalan tol yang dibangun dengan hutang kini sepi karena tarifnya terlalu mahal. Pelabuhan-pelabuhan baru tak lagi sibuk karena perdagangan menurun drastis.
Di tengah tekanan itu, Paijo mengumpulkan kabinetnya. Wajahnya yang dulu penuh senyum kini terlihat tegang. “Apa yang harus kita lakukan?” tanyanya kepada para menterinya. Namun, tak satu pun dari mereka berani memberikan jawaban. Mereka tahu bahwa keputusan-keputusan Paijo selama ini telah membawa negara ke ambang kehancuran.
Di akhir masa jabatannya, Paijo meninggalkan istana dengan rasa malu yang mendalam. Ia dikenang bukan sebagai pahlawan rakyat, melainkan sebagai presiden yang telah menjual masa depan negaranya demi ilusi kemajuan. Hutang yang ia tinggalkan menjadi beban bagi generasi mendatang. Rakyat yang dulu memujanya kini hanya mengingatnya sebagai simbol dari ambisi tanpa perhitungan.
Paijo sendiri menghabiskan sisa hidupnya di kampung halaman. Ia kerap terlihat duduk di depan rumahnya yang sederhana, menatap kosong ke arah sawah yang menguning. Sesekali, ia bergumam pelan, “Aku hanya ingin membangun negeri ini… Tapi kenapa jadi begini?” Namun, penyesalan itu datang terlambat. Nama Paijo telah tercatat dalam sejarah sebagai presiden culas yang membawa negeri ke jurang hutang.