Artikel

Tradisi Nyadran, Sarana Menjaga Harmoni dengan Allah dan Alam

Judul: Penguatan Nilai-Nilai Sufisme Dalam Nyadran Sebagai Khazanah Islam Nusantara

Jurnal: Jurnal Islam Nusantara

Penulis: Hamidulloh Ibda

Akreditasi: 

Url: https://jurnalnu.com/index.php/as/article/view/92

DESKRIPSI

Indonesia besar dan tumbuh dengan berbagai tradisi yang ada. Berbagai tradisi tersebut dianggap bid’ah oleh beberapa kaum yang anti dengan tradisi tersebut. Kendati demikian tradisi-tradisi tersebut masih tetap lestari. Islam di Jawa memiliki berbagai tradisi dan keberagaman yang unik. Pola kebudayaan yang ada juga didukung oleh kekuasaan politik kerajaan Islam Jawa, khususnya Mataram yang dapat mempertemukan Islam Jawa dengan kosmologi Hinduisme dan Budhisme (Subulan, 2012)

Tradisi tersebut adalah nyadran, salah satu tradisi Islam Nusantara sangat erat kaitannya dengan hubungan dengan Allah, dengan manusia, dan dengan alam. Dalam jurnalnya Hamidulloh Ibda mengungkapkan bahwa dalam tradisi nyadran bukan hanya sekadar doa, pengajian, dan ritus belaka. Namun juga terdapat nilai-nilai sufisme yang harus dikuatkan sebagai bentuk estetika budaya yang islami.

Nyadran menurut KBBI (2010), berasal dari kata sadran-menyadran yang berarti mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur dengan membawa sesajen atau bunga. Menjelang Ramadhan, masyarakat harus intropeksi diri , mensucikan diri dari segala aspek lahir dan batin.

. Dalam sejarahnya, nyadran merupakan akulturasi budaya Jawa-Hindu dengan Islam. Sebelum agama Islam masuk Jawa, masyarakat sudah mempunyai suatu adat yang menghormati roh leluhurnya. Praktik nyadran di tiap daerah memiliki keragaman menarik. Di Kabupaten Boyolali, misalnya, nyadran diartikan suatu proses mengirimkan doa kepada para leluhur yang sudah meninggal dunia. 

Nyadran menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang dan waktu pelaksanaannya tanggal 15 Ruwah. Proses nyadran yang pertama yaitu besik kubur (membersihkan pemakaman), dilanjutkan berdoa bersama. Setelahnya, inti nyadran yaitu bertukar makanan yang mereka anggap sebagai sedekah. Terakhir berupa pambagyo tamu atau penerimaan tamu dari luar daerah untuk saling bersilaturahim dan menikmati hidangan. Tujuan pambagyo tamu ini sebagai rasa syukur dan sebagai sarana menyambung persaudaraan antarsesama manusia. Pambagyo tamu inilah menjadi ciri khas dari tradisi nyadran di Boyolali, khususnya di Kecamatan Cepogo (Mukhlis Mubarok, 2017)

Islam memiliki berbagai pandangan sendiri mengenai budaya yang telah menjadi tradisi karena dilaksanakan secara berkelanjutan. Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Swt. Tradisi ini adalah bentuk hormat kepada alam dan leluhur yang telah berjasa dalam kehidupan masyarakat yang mengaktualisasi tradisi nyadran.

Dalam perkembangannya, nyadran dapat juga dilaksanakan sebagai tasyakuran. Ritual ini adalah penggabungan nilai-nilai Islam dan budaya lokal. Ada yang menyebutnya nyadran, krayahan, bancaan, megengan, sedekah bumi (kabumi), gas deso dan lainnya. Namun nyadran di berbagai daerah khususnya di Jawa lebih dekat dengan sedekah bumi dan nyadran itu sendiri adalah sedekah bumi.

Nyadran dilaksanakan setiap bulan sya’ban dalam kalender Jawa disebut Ruwah. Lazimnya, nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah memiliki lokasi ziarah masing-masing. Semisal di Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, nyadran dilaksanakan di makam punden dan makam leluhur. Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas rezeki yang diberikan. (Hamidulloh Ibda, 2018)

INTERPRETASI

Kegiatan nyadran di Jawa dilaksanakan dengan cara yang berbeda, kendati demikian memiliki substansi yang sama yakni wujud penghambaan pada Allah, rasa syukur, menghormati arwah leluhur dan menjaga keseimbangan alam. Dalam salah satu penelitian, nyadran memiliki beberapa nilai yang bisa dikuatkan. Pertama, nilai gotong royong. Kedua, nilai persatuan dan kesatuan. Ketiga, nilai musyawarah. Keempat, nilai pengendalian sosial. Kelima, nilai kearifan lokal yang ditunjukkan pada saat memberikan makanan yang dibawa dan diberikan pada masyarakat yang datang nyadran (Choerul Anam, 2017).

Salah satu ibadah sunnah atau dalam hal ini ibadah muamalah adalah nyadran. Dalam hal ini, nyadran menjadi bentuk laku tasawuf yang memiliki nilai-nilai sufisme tinggi sebagai wahana mendekatkan dan berserah diri pada Allah dan menjaga alam. 

Meski demikian, faktor-faktor penentu tipe praktik peribadatan sufi tidak hanya terbatas pada ekologi atau lingkungan tempat berkembang, namun ditentukan faktor budaya, kelas, kondisi sosial ekonomi dan lainnya. Formula luar praktik-praktik sufi bergantung kepada lingkungan, waktu, tempat, ekologi, situasi ekonomi dan watak sosial dari masyarakat yang memiliki aliran sufistik (Syaikh Fudhlallah Haeri, 2000). 

Nyadran sebagai budaya khas Islam Nusantara harus dikemas menarik agar bisa menyesuaikan zaman. Artinya, substansi religiusnya masih melekat, namun bisa dikontekstualisasikan melalui pengemasan menarik itu, sehingga menjadi produk Islam yang selalu fleksibel terhadap laju roda zaman. 

EVALUASI

Indonesia tumbuh dengan berbagai tradisi yang ada setiap tradisi yang tumbuh dan berkembang selalu memiliki nilai tasawuf, sufisme dan beberapa nilai lainnya. Maka dari itu jangan melihat sesuatu tradisi ke arah hal buruk. Mereka tercipta karena keteraturan dan kebiasaan yang terus menerus dilaksanakan. Tinggal di sebuah daerah dengan kekayaan tradisi yang ada, harus membuatmu lebih fleksibel. 

REKOMENDASI

Tradisi nyadran perlu dilestarikan supaya tidak punah. Pelestarian tradisi ini adalah wujud penghormatan terhadap adiluhung peninggalan nenek moyang. Berbagai kearifan lokal hadir membersamai setiap prosesi pada tradisi ini. Hal ini disebabkan karena dalam prosesi nyadran terdapat nilai gotong royong untuk membersihkan makam leluhur, selamatan, kenduri. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi, sebagai perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, dan nasionalisme.

Adapun beberapa strategi dalam melestarikan nyadran antara lain: pertmana, ikut berperan dan ikut melakukan gerakan dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi bingung akibat nilai spiritual melalui nyadran. Kedua, menggabungkan aspek batiniah dan modernitas lewat nyadran. Ketiga, harus adanya gerakan edukasi dan penjelasan mengenai nilai tasawuf. Keempat, gabungkan nyadran dengan aspek wisata religi untuk menambah khazanah yang ada. Kelima, gelar prosesi nyadran dengan konsep pesta budaya. 

Anisa Rachma Agustina

Tinggalkan Balasan