Cerpen

Di Antara Dua Musim

Di Antara Dua Musim

Oleh: Ghaida Mutmainnah

Hujan sore itu jatuh perlahan, seolah bumi sedang menenangkan dirinya sendiri. Di bawah langit kelabu, aku berdiri di halte kampus dengan jaket abu-abu yang sudah basah di bagian pundak. Hujan selalu punya cara sendiri untuk jatuh seperti hatiku yang jatuh pada Arga, diam-diam, tanpa permisi.

Arga berdiri tak jauh dariku, dengan payung lipat hitam di tangan kanannya. Matanya menatap lurus ke jalanan yang basah, tapi sesekali ia melirik ke arahku. Aku pura-pura tidak menyadari, padahal jantungku berdetak terlalu keras.

“Kamu gak bawa payung?” suaranya mengagetkanku.

Aku menggeleng, bibirku tersenyum canggung. “Lupa.”

Tanpa banyak kata, ia membuka payungnya. “Bareng saja. Rumah kita searah, kan?”

Aku ingin menolak, ingin terlihat tegar, tapi tubuhku memilih untuk melangkah mendekat. Kami berjalan berdua di bawah payung sempit itu. Suara hujan menjadi musik pengiring yang menenangkan sekaligus menyakitkan. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa mencium wangi sabun di kemejanya, tapi ada jarak tak kasat mata yang tak bisa kuatasi.

“Aku suka hujan,” gumamku untuk memecah hening.

“Kenapa?” tanyanya.

“Karena hujan selalu membuat orang yang menunggu jadi lebih sabar.”

Arga tertawa pelan. “Kalau begitu, aku harus belajar jadi seperti hujan.”

Aku tidak mengerti maksudnya. Dan aku terlalu takut untuk bertanya lebih lanjut.

Hari-hari berikutnya, kami sering bersama. Mengobrol di kantin kampus, membaca buku di perpustakaan, atau sekadar duduk di bawah pohon flamboyan sambil membicarakan mimpi-mimpi yang sepertinya tak akan pernah bersinggungan.

Di mataku, Arga adalah segalanya yang tidak berani aku harapkan: hangat, cerdas, dan punya tatapan mata yang seperti memeluk jiwaku setiap kali kami bertukar pandang. Tapi aku juga tahu satu hal yang selalu kutepis dari pikiranku: Arga sudah punya seseorang yang menunggunya di rumah tunangan yang telah dipilihkan keluarganya sejak mereka SMA.

“Apa kamu bahagia?” tanyaku suatu senja, saat kami duduk di bangku kayu yang mulai lapuk.

Ia terdiam. Pandangannya jauh menembus batas langit dan bumi. “Bahagia itu relatif, Ra.”

“Lalu kenapa kamu tidak memperjuangkan yang membuatmu bahagia?”

Ia menoleh, mata itu menatapku dengan luka yang tak pernah ia ucapkan. “Karena hidup bukan soal siapa yang kita cintai, tapi siapa yang kita pilih untuk diperjuangkan.”

Hatiku retak mendengar kalimat itu. Bagian terdalam diriku ingin berteriak, ingin memintanya untuk memilihku. Tapi akal sehat menahanku aku tahu ini cinta yang tidak mungkin dimiliki.

Hari itu datang seperti tamparan keras. Sebuah undangan pernikahan sampai ke tanganku melalui teman sekelas. Namanya tercetak di sana dengan tinta emas, bersanding dengan nama wanita lain.

Aku menatap undangan itu lama, berharap ada kesalahan cetak. Tapi tidak ada. Ini nyata. Arga akan menikah, dan aku tidak punya hak untuk sedih.

Di malam pernikahannya, aku berjalan sendirian di kota yang basah oleh gerimis. Lampu-lampu jalan tampak buram oleh air mata yang tak henti jatuh. Di tanganku tergenggam surat yang kutulis tapi tak pernah kukirim.

“Arga, jika suatu hari kamu membaca ini, ketahuilah bahwa aku mencintaimu dalam diam. Aku mencintaimu cukup untuk melepaskanmu. Semoga kamu bahagia, bahkan tanpa aku di sisimu.”

Aku membuang surat itu ke sungai. Kertas putih itu hanyut, seperti rasa yang tak pernah sempat kusampaikan.

Tahun-tahun berlalu. Aku tidak lagi melihat Arga, tapi bayangannya masih tinggal di sudut pikiranku. Setiap kali hujan turun, aku teringat pada payung hitam itu. Teringat pada jarak yang begitu dekat namun tak pernah bisa disatukan.

Suatu sore, aku melihatnya lagi dari kejauhan. Ia sedang menggandeng seorang anak kecil, mungkin anaknya. Senyumnya masih sama, hangat, tapi kali ini bukan untukku.

Aku hanya bisa tersenyum pahit, lalu berjalan pergi. Cinta ini tidak mati, hanya belajar beristirahat.

Karena ada cinta yang memang tak diciptakan untuk dimiliki. Ada hati yang hanya diciptakan untuk mencintai, bukan untuk disatukan.

Dan aku? Aku akan selalu menjadi hujan datang sebentar, lalu pergi, meninggalkan tanah yang basah oleh kenangan.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan