Oleh: Ghaida Mutmainnah
Hari itu, langit di desa Sindang Kencana mendung sejak pagi. Anak-anak yang biasa bermain di lapangan rumput setelah pulang sekolah memilih pulang cepat-cepat karena takut hujan turun. Tapi tidak dengan Adit. Ia justru berjalan pelan sambil menatap langit yang kelabu. Di balik awan yang bergulung-gulung, Adit merasa ada sesuatu yang aneh.
“Awan-awan itu kayak ngintip kita, ya,” gumamnya sendiri sambil duduk di bangku kayu dekat taman sekolah.
Adit adalah anak kelas lima SD yang terkenal pendiam. Ia lebih senang menggambar dan menatap langit daripada bermain bola atau main petak umpet. Teman-temannya sering menggodanya “anak langit” karena ia sering berbicara sendiri sambil menatap awan.
Hari itu, awan tidak biasa. Bukan hanya karena bentuknya besar dan berat, tetapi karena awan itu tidak pernah bergerak sejak pagi. Padahal angin sudah beberapa kali bertiup kencang. Tapi awan kelabu itu tetap diam, bergantung di atas desa seperti payung raksasa yang enggan dilipat.
“Kenapa kamu belum pulang?” tanya Bu Lina, guru kelas Adit yang baru saja mengunci ruang guru.
Adit menunjuk langit. “Bu, awannya dari pagi nggak pergi-pergi.”
Bu Lina tertawa kecil. “Namanya juga mendung, mungkin sebentar lagi hujan.”
“Tidak, Bu… Awan itu… kayak sedang memperhatikan kita,” kata Adit pelan.
Bu Lina hanya tersenyum dan menepuk bahu Adit. “Jangan terlalu banyak melamun, Dit. Nanti kamu bisa tersesat dalam pikiran sendiri.”
Tapi malamnya, kejadian aneh benar-benar terjadi.
Ketika malam tiba, hujan tak kunjung turun. Awan kelabu malah makin tebal. Bulan dan bintang menghilang. Udara menjadi dingin menusuk seperti di pegunungan. Orang-orang mulai membicarakan langit yang aneh.
“Apa mungkin bakal ada badai?” tanya Pak RT saat ronda malam.
“Katanya, dulu waktu gunung di sebelah timur mau meletus, langit juga begitu,” timpal Pak Warno.
Namun yang paling heran adalah Adit. Ia merasa awan itu seperti… hidup. Seperti makhluk raksasa yang tidak ingin pergi dari atas desa. Malam itu, Adit duduk di jendela kamarnya, memandangi langit dengan pensil dan buku gambar di tangannya.
Lalu tiba-tiba, ia melihat sesuatu.
Dari celah-celah awan kelabu, muncullah cahaya biru kecil yang berkilat-kilat seperti bintang jatuh. Tapi benda itu melayang pelan dan… turun ke arah bukit belakang sekolah!
Mata Adit membelalak. Ia segera memakai jaket dan mengambil senter. Tanpa membangunkan siapa pun, ia keluar rumah dan berjalan pelan menuju bukit.
Bukit belakang sekolah adalah tempat yang biasa dijadikan area piknik saat akhir tahun. Tapi malam-malam begini, tempat itu gelap dan sepi. Adit menyusuri jalan setapak dengan hati-hati. Angin dingin menusuk kulit, tapi rasa penasarannya mengalahkan rasa takut.
Dan di tengah bukit, Adit melihat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
Ada sebuah benda seperti bola cahaya biru sebesar bola basket melayang di atas rerumputan. Bentuknya berkilau, memancarkan sinar lembut. Tapi yang paling mengejutkan adalah sosok kecil di dekatnya.
Itu… awan kecil. Seperti kapas yang melayang, tapi ia memiliki mata dan wajah sedih.
Adit mendekat. “Kamu… siapa?”
Awan kecil itu menoleh dan berbicara dengan suara lembut seperti hembusan angin, “Aku Awan Kecil. Aku tertinggal.”
“Tertinggal?” tanya Adit.
“Teman-temanku sudah kembali ke langit. Tapi aku… aku takut kembali. Aku merasa tidak dibutuhkan lagi di atas sana.”
Adit mengedipkan mata. “Kok bisa awan merasa tidak dibutuhkan?”
Awan Kecil mendesah. “Dulu, manusia sering memandang kami. Anak-anak suka mencari bentuk di tubuh kami—ada yang bilang aku seperti kelinci, ada yang bilang aku seperti naga. Tapi sekarang, semua anak sibuk dengan layar. Tak ada lagi yang memandang langit.”
Adit terdiam.
Ia teringat bagaimana teman-temannya lebih sering menatap gawai daripada melihat awan. Ia sendiri mungkin satu-satunya yang masih senang memandangi langit dan menggambar awan.
“Jadi kamu sedih dan nggak mau pergi?” tanya Adit.
Awan Kecil mengangguk. “Aku ingin tetap di sini, walau langit memanggilku. Tapi aku tahu, itu membuat dunia tidak seimbang. Kalau aku tetap di sini, hujan tidak bisa turun. Bumi bisa kering, dan tanaman tak tumbuh.”
Adit memandang awan kecil itu dengan iba. “Kalau begitu… kamu harus kembali.”
“Tapi aku takut… aku takut sendirian di atas sana.”
Adit tersenyum. “Aku akan menemani kamu sampai kamu sampai di langit.”
Awan Kecil menatapnya. “Benarkah?”
“Iya. Aku akan menggambar kamu setiap hari. Aku akan cerita tentang kamu ke teman-temanku. Supaya mereka juga mau menatap langit lagi. Kamu tidak akan sendiri.”
Awan Kecil tersenyum senyum yang tidak biasa terlihat dari awan mana pun.
Keesokan harinya, langit Temanggung cerah ceria. Awan kelabu yang bergantung seharian penuh kini menghilang, digantikan oleh gumpalan putih yang bergerak pelan mengikuti arah angin. Penduduk desa bersorak, anak-anak bermain di luar, dan udara terasa lebih segar.
Tapi yang paling bahagia adalah Adit. Ia tahu, Awan Kecil sudah kembali ke tempatnya.
Sejak malam itu, Adit membuat satu buku khusus yang ia beri nama “Sahabat di Langit”. Setiap halaman berisi gambar Awan Kecil, lengkap dengan ekspresi lucunya. Ia bahkan bercerita ke teman-temannya di kelas.
Awalnya mereka menertawakannya. Tapi setelah Adit menunjukkan gambar dan cerita itu, mereka mulai tertarik.
“Boleh nggak kita lihat langit bareng?” tanya Dinda, teman sebangkunya.
“Boleh dong,” jawab Adit senang.
Maka, setiap sore, anak-anak mulai duduk di lapangan, menatap langit, dan menebak-nebak bentuk awan. Ada yang bilang bentuk domba, bentuk kapal, bahkan bentuk donat. Tawa mereka memenuhi udara sore yang hangat.
Tiga minggu setelah kejadian itu, Adit menemukan satu awan kecil melayang agak rendah di langit. Bentuknya mirip sekali dengan yang dulu ia temui di bukit. Dan Awan Kecil berkedip padanya.
Adit tersenyum.
Awan itu memang sudah pergi.
Tapi hatinya, tetap tinggal.