Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Bayu duduk di trotoar sambil menatap kendaraan yang lalu-lalang di perempatan lampu merah. Di sampingnya, gitar kecil kesayangannya diletakkan perlahan. Jalanan ramai dan angin berhembus membawa aroma asap dan debu kota. Sudah tiga hari ini hujan tidak turun. Itu kabar baik bagi anak-anak seperti mereka yang tidur beratap langit dan berlantaikan semen jembatan.
“Galang belum datang juga, ya?” gumam Bayu pelan.
Tak lama, Galang muncul dari arah pasar. Peluh membasahi dahinya, tapi wajahnya tetap cerah. “Bay, aku dapet dua bungkus nasi bungkus murah. Lumayan buat makan nanti malam.”
Bayu tersenyum. Galang memang selalu punya cara bertahan. Sejak mereka dipertemukan dua bulan lalu di halte bus, hidup mereka berdua seolah menempel seperti bayangan. Sama-sama anak jalanan, sama-sama tak jelas asal usul, dan sama-sama masih percaya kalau besok bisa lebih baik dari hari ini.
Setelah membagi nasi bungkus itu, mereka kembali ke tempat biasa: perempatan besar di dekat pusat kota. Bayu mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu lama yang ia pelajari dari radio warteg ataupun dari orang-orang yang tak sengaja ia dengar. Galang berjalan pelan, menawarkan kacang goreng kepada pengendara yang menunggu lampu hijau.
Malam mulai turun. Setelah uang receh cukup dikumpulkan, mereka pulang ke kolong jembatan tempat tidur mereka yang paling aman sejauh ini. Bukan karena nyaman, tapi karena sudah terbiasa.
“Bay,” kata Galang sambil menatap langit yang tertutup sebagian beton, “kalau kita bisa sekolah, kamu mau sekolah nggak?”
Bayu diam sebentar. Ia menatap langit yang dipenuhi bintang samar.
“Aku pengen bisa nulis,” jawabnya pelan. “Biar bisa nulis cerita kita. Supaya orang tahu kita itu ada.”
Galang mengangguk. “Aku pengen baca buku. Katanya, dunia bisa kita lihat lewat buku.”
Bayu tertawa kecil. “Lihat dunia? Kita bisa bertahan sehari penuh aja udah syukur.”
Mereka berdua tertawa. Suara tawa yang pelan, tapi tulus. Malam itu, bintang terasa sedikit lebih dekat.
Beberapa hari berikutnya, mereka tetap menjalani rutinitas yang sama. Mengamen, menjajakan barang, dan tidur di kolong jembatan. Tapi di antara keramaian kota, ada seseorang yang memperhatikan.
Namanya Bu Dina, seorang relawan rumah singgah. Ia sudah beberapa kali melihat Bayu dan Galang di perempatan itu, tapi baru hari itu ia mendekat dan menyapa mereka.
“Kalian sering di sini, ya?” tanyanya ramah.
Galang tampak waspada. Bayu juga. Mereka terbiasa diperlakukan kasar oleh orang asing.
“Aku cuma mau ngobrol,” lanjut Bu Dina sambil jongkok di depan mereka. “Apakah kalian mau pindah ke rumah harapan? Di Rumah Harapan, anak-anak bisa belajar, makan teratur, dan tidur di tempat yang bersih. Aku pikir kalian bisa coba ke sana.”
Ia tidak memaksa. Hanya tersenyum simpul dan pergi.
Bayu dan Galang terdiam. Tak ada yang bicara malam itu, tapi keduanya tahu sesuatu di hati mereka mulai bergerak.
Tiga hari kemudian, mereka memberanikan diri datang ke rumah itu. Untuk alamat mereka bertanya kepada orang-orang dijalan. Ternyata rumah singgah tersebut tidak jauh dari perempatan lampu merah yang kerap mereka sambangi Rumah singgah itu tidak besar, tapi hangat. Anak-anak menyambut mereka dengan ramah. Para pengasuh berbicara lembut. Dan di rak-rak sederhana, tersusun buku-buku dan pensil-pensil yang selalu mereka impikan.
Bayu mulai belajar mengeja. Galang mulai tertarik melihat-lihat buku gambar. Tidak ada suara klakson. Tidak ada dinginnya malam. Tidak ada lapar yang harus ditahan.
Di sore hari, mereka duduk di teras kecil, menatap langit sore yang berubah jingga.
“Langitnya masih sama,” kata Galang pelan.
Bayu tersenyum sambil menggenggam gitar kecilnya.
“Iya. Tapi kali ini, kita lihat dari tempat yang lebih baik.”
Mereka tidak tahu sampai kapan mereka akan di sana. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, mereka merasa dunia mulai berpihak. Mimpi mereka sederhana mereka hanya ingin hidup seperti anak-anak lain. Belajar. Tertawa. Dan punya masa depan.
Langit itu masih sama. Tapi harapan mereka kini berbeda.