Esai

Reog: Dari Warisan Leluhur Ponorogo Menuju Panggung Nusantara

Reog: Dari Warisan Leluhur Ponorogo Menuju Panggung Nusantara

Oleh Zahra

Seni Reog, yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang kaya akan makna filosofis, spiritual, dan simbolik. Lebih dari sekadar pertunjukan hiburan, Reog adalah warisan budaya yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Sejak diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada Desember 2024, perhatian terhadap Reog semakin meningkat, tidak hanya di daerah asalnya, tetapi juga menyebar ke berbagai penjuru Nusantara—termasuk Temanggung, Jawa Tengah.bangsa

Reog kini tidak hanya dipentaskan di Ponorogo. Di daerah-daerah lain, terutama di Jawa Tengah, Reog mulai menemukan panggungnya sendiri. Salah satu contoh yang mencolok adalah Temanggung, yang dalam beberapa tahun terakhir kerap menggelar pertunjukan Reog dalam acara budaya seperti “Tadarus Budaya,” Pawai Seni Merdeka, hingga pertunjukan rutin di ruang publik seperti alun-alun atau taman kota. Kelompok-kelompok seni lokal seperti “Simo Seto Bhumi Makukuhan” aktif menghadirkan Reog sebagai bagian dari identitas kultural Temanggung.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Reog mulai diterima sebagai kesenian rakyat Nusantara, bukan semata milik Ponorogo. Ada semangat kolektif dari masyarakat dan pemerintah daerah untuk melestarikan dan memperluas eksistensi Reog ke generasi muda. Bahkan, tidak sedikit sekolah dan sanggar seni yang mulai memasukkan Reog sebagai materi pelatihan seni tradisional. Pemerintah daerah pun memberi dukungan melalui penyediaan anggaran, ruang pertunjukan, dan promosi budaya.

Kemarakan Reog di luar Ponorogo juga menjadi bentuk perlawanan budaya terhadap globalisasi dan komersialisasi yang cenderung mengikis identitas lokal. Di tengah gempuran budaya populer asing, Reog tampil sebagai simbol perlawanan yang elegan—menjaga kearifan lokal sambil tetap mampu bersaing di era modern. Ia menjadi ajang untuk memperkuat jati diri, mempererat persatuan masyarakat, serta membuka peluang ekonomi dari sektor pariwisata dan industri kreatif.

Namun, penyebaran Reog ke berbagai daerah juga membawa tantangan tersendiri. Salah satunya adalah menjaga kemurnian nilai-nilai dan struktur pertunjukan agar tidak terdistorsi oleh kepentingan hiburan semata. Selain itu, regenerasi penari—terutama Warok—memerlukan proses panjang dan pembinaan serius. Dibutuhkan komitmen bersama antara masyarakat, seniman, dan pemerintah agar Reog tidak sekadar jadi tontonan, tetapi juga sarana pendidikan budaya.

Sebagai kesimpulan, Reog adalah kesenian yang telah berhasil melintasi batas-batas geografis dan melekat di hati masyarakat Indonesia. Kebangkitannya di daerah-daerah seperti Temanggung menandakan bahwa seni tradisional masih relevan dan bisa berkembang di tengah zaman yang terus berubah. Reog bukan hanya milik Ponorogo—ia kini telah menjadi milik bangsa.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan