Oleh: Audia Widyaningrum
Beberapa tahun terakhir, aktivitas mendaki gunung menjadi sangat populer, terutama di kalangan anak muda. Media sosial dipenuhi foto-foto dari puncak gunung, dengan caption motivasi dan pemandangan awan di bawah kaki. Sayangnya, tidak semua orang yang naik gunung benar-benar memahami makna mendaki. Banyak yang menjadikan kegiatan ini sekadar tren atau ajang eksistensi, tanpa persiapan yang cukup dan tanpa rasa tanggung jawab terhadap alam.
Menjadi pendaki bukan soal gaya hidup keren atau untuk mengumpulkan “feed” Instagram yang estetik. Mendaki adalah kegiatan yang butuh fisik kuat, mental tangguh, serta pengetahuan tentang keselamatan dan etika di alam bebas. Alam bukan tempat hiburan belaka, melainkan ruang yang harus dijaga dan dihormati.
Sering kita temui kasus pendaki yang naik gunung tanpa peralatan yang memadai, membuang sampah sembarangan, merusak vegetasi, bahkan mengabaikan rambu atau peringatan. Ini adalah cermin bahwa semangat pendakian mereka bukan dilandasi kesadaran, melainkan ikut-ikutan.
Seharusnya, setiap pendaki memiliki tanggung jawab moral dan lingkungan. Membawa turun sampah sendiri, menjaga kelestarian flora dan fauna, serta menghormati adat dan aturan lokal adalah bagian penting dari etika mendaki. Alam telah memberikan keindahan luar biasa, dan sudah sepatutnya kita membalasnya dengan menjaga dan merawatnya.
Mendaki gunung memang bisa memberi pelajaran hidup—tentang ketekunan, kerja sama, dan kedekatan dengan alam. Namun, semua itu hanya bisa diperoleh bila kita mendaki dengan hati, bukan hanya dengan kamera.