Esai

Ciplukan: Buah Kecil di Rerumputan yang Penuh Kenangan dan Esensi Alam

Ciplukan: Buah Kecil di Rerumputan yang Penuh Kenangan dan Esensi Alam

Oleh Miftakhur Rosidah

Ciplukan, atau yang dalam bahasa Latin disebut Physalis angulata, adalah buah mungil yang kerap tumbuh liar di antara rerumputan, pinggir sawah, atau tanah lapang yang jarang terinjak manusia. Dulu, bagi anak-anak desa, ciplukan bukan hanya buah biasa. Ia adalah bagian dari masa kecil yang penuh petualangan, ketika bermain di alam terbuka menjadi rutinitas harian, dan menemukan ciplukan menjadi hadiah istimewa.

Secara bentuk, ciplukan sangat unik. Buahnya kecil, bulat, dan dibungkus oleh kelopak tipis berbentuk lentera yang kering berwarna cokelat pucat. Saat kita membukanya, terlihatlah buah berwarna putih kehijauan yang mengilat, seolah menyimpan rasa manis alami dari tanah tempat ia tumbuh. Tidak ada yang menyangka, dari balik bungkus rapuh itu, tersimpan kelezatan yang sederhana namun memikat.

Rasanya? Manis alami dengan sedikit rasa sepat ketika belum benar-benar matang. Namun saat mencapai kematangan sempurna, buah ciplukan memancarkan rasa yang khas lembut, manis, dan menyegarkan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rasa ciplukan membawa nuansa nostalgia, mengingatkan pada masa kecil yang sederhana namun penuh makna.

Yang menarik dari ciplukan adalah esensinya sebagai buah liar yang tumbuh tanpa diminta, tanpa ditanam dengan niat, tapi tetap memberi manfaat. Ia tidak manja seperti buah-buahan kebun yang butuh perawatan. Ciplukan tumbuh liar, di sela rerumputan yang sering dianggap tak berguna. Justru di sana, ia menegaskan keberadaannya bahwa sesuatu yang sederhana pun bisa memiliki nilai tinggi jika diperhatikan.
Buah ini mengajarkan kita tentang ketulusan alam. Ia tumbuh tanpa pamrih, hadir tanpa diminta, dan memberikan rasa serta khasiat yang luar biasa. Bahkan, dalam pengobatan tradisional, ciplukan dikenal memiliki manfaat untuk menurunkan tekanan darah, mengobati batuk, dan menjaga imunitas tubuh.
Dari bentuknya yang kecil dan tersembunyi, tersimpan kekuatan besar yang mungkin luput dari pandangan kasat mata.
Namun sayangnya, keberadaan ciplukan kini semakin jarang dijumpai, terutama di daerah yang telah banyak berubah menjadi pemukiman atau lahan pertanian. Alam liar yang menjadi habitat alami ciplukan perlahan menghilang, tergantikan oleh bangunan dan beton. Anak-anak masa kini mungkin tak lagi mengenal ciplukan, apalagi merasakannya langsung dari rerumputan liar.

Ciplukan bukan sekadar buah, ia adalah simbol dari hubungan harmonis antara manusia dan alam. Ia hadir sebagai pengingat bahwa alam semesta memiliki caranya sendiri untuk memberi kita kebahagiaan kecil, asal kita bersedia melihat dan menghargainya. Ciplukan tumbuh diam-diam, memberi rasa tanpa suara, dan mengajarkan bahwa yang sederhana bisa jadi sangat berharga.
Kini, beberapa orang mulai membudidayakan ciplukan, bahkan menjualnya dengan harga tinggi di pasar modern sebagai buah eksotis. Namun, bagi yang pernah merasakan ciplukan langsung dari alam, kenikmatannya tetap berbeda. Ada rasa yang tak hanya dari lidah, tapi juga dari kenangan dan kedekatan dengan tanah tempatnya tumbuh.

Ciplukan menjadi bagian dari kearifan lokal, warisan kecil yang tak ternilai. Melestarikan ciplukan bukan hanya soal menjaga tanaman liar, tapi juga menjaga ingatan kolektif, rasa syukur pada alam, dan kepekaan terhadap kehidupan yang tumbuh di sekeliling kita. Di balik buah mungil itu, tersimpan pelajaran besar tentang kehidupan.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan