Wonosobo, DISTINGSI.com – Di balik kemeriahan dan semangat kompetisi dalam ajang Pekan Olahraga dan Seni Ma’arif NU (Porsema) XIII Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah, terselip sebuah kisah yang tak biasa. Dua pria yang disebut-sebut sebagai ‘pemabuk’ menjadi pusat perhatian bagi juri-juri lain dan panitia. Bukan karena ulah mereka yang meresahkan, melainkan karena peran penting yang mereka emban: menjadi juri.
Tentu saja, bukan “pemabuk” dalam arti yang selama ini dipahami dengan botol-botol minuman keras dan langkah sempoyongan. Dua pria ini, Junaidi Abdul Munif dan Pujianto alias Puji Pistols, adalah “pemabuk perjalanan” ketika naik kendaraan mobil atau bus.
Mereka menembus jarak dan waktu demi menyumbangkan keahlian mereka untuk Porsema XIII. Junaidi Abdul Munif adalah Kepala Sekolah SMP Tahfidz Al Furqon Karangawen Demak, penulis, dan pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2018-2023, dan Pujianto alias Puji Pistols adalah sastrawan Pati, mantan gitaris band Grunge tak ternama kota Pati.
Mabuk yang Salah Kaprah
Kata “mabuk” sering membawa stigma negatif. Tapi kali ini, kita bicara tentang mabuk yang lain yaitu “mabuk perjalanan”. Kondisi ketika tubuh tak lagi mampu menyesuaikan diri dengan guncangan kendaraan dan perbedaan sinyal dari mata, telinga, serta sistem keseimbangan tubuh. Hasilnya? Mual, pusing, dan rasa ingin menyerah di tengah jalan. Bahkan harus sedia kresek plastik untuk tempat menampung muntahan dari mulut.
Junaidi Abdul Munif, juri Lomba Penulisan Biografi Kiai Lokal, adalah satu dari mereka yang mengalami ‘drama’ di balik layar Porsema XIII. Perjalanan panjang menuju lokasi acara membuatnya berkeringat dingin, memegangi perut, dan berharap perjalanan segera usai.
Namun begitu sampai, ia kembali menjadi sosok serius yang mengamati lembar demi lembar tulisan, menelusuri kata demi kata tentang perjuangan para kiai lokal yang selama ini tak tersentuh pena sejarah.
“Harus membuka kaca kalau naik mobil. Dulu sih sering naik sepeda motor daripada naik mobil ketika perjalanan jauh,” kata Junaidi, Jumat (12/9/2025) di sela-sela berangkat ke lokasi Kampus 1 UNSIQ Wonosobo.
Bang Jun, sapaannya, mengatakan sebenarnya mabuk perjalanan bisa terjadi ketika kaca mobil tertutup dengan AC yang dinyalakan.
“Sebenarnya mabuk tidak mabuk saat perjalanan bergantung sopirnya,” kelakarnya.
Ia pun mengaku, saat ini sudah jarang mabuk perjalanan, terbukti saat naik mobil travel dari Grobogan ke Wonosobo, dirinya tidak mengalami mabuk perjalanan. Keren.
Sementara itu, Puji Pistols, juri Lomba Cipta dan Baca Puisi, punya cerita yang tak kalah dramatis. “Saya tadi naik sepeda motor boncengan dari Kabupaten Pati, karena saya kalau naik mobil ya mabuk perjalanan,” kata Mbah Puji.
Meski tak mabuk, namun Mbah Puji mengaku kedinginan karena kesasar salah jalan hingga sampai daerah pegunungan saat menuju perjalanan ke penginapan juri. Ia pun tampak menggigil, dan membawa tolak angin, minyak angin, dan lainnya.
Saat di Pendopo Selomanik Wonosobo, panitia sudah menawarkan untuk diantar menggunakan mobil menuju lokasi lomba. “Saya motoran saja, daripada mabuk,” kata Mbah Puji.
Mbah Puji menceritakan kisahnya zaman dulu yang sering mengalami mabuk perjalanan. “Kalau menurut saya, mabuk perjalanan itu akibat ada suara-suara kendaraan di sekitar, roda mobil, yang membuat telinga tersugesti sehingga terjadilah mabuk perjalanan,” lanjut dia.
Mabuk Perjalanan, Mabuk Dedikasi
Kedua juri ini tidak hanya mabuk secara fisik. Mereka juga ‘mabuk’ dalam artian yang lebih dalam mabuk dedikasi. Meski tubuh protes dan kepala berputar-putar, semangat mereka tetap tegak lurus. Porsema bukan sekadar ajang lomba, tapi panggung pembentukan karakter, pemantik kreativitas, dan ruang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ke-NU-an melalui seni dan sastra.
Junaidi dan Mbah Puji paham benar bahwa tanggung jawab sebagai juri bukan hanya soal menilai. Hal ini tentang menjadi bagian dari proses pendidikan kultural yang lebih besar. Maka, mabuk pun tak jadi soal. Yang penting, proses Porsema XIII sukses dengan kesiapan juri yang maksimal.
Dari Mabuk Menjadi Inspirasi
Siapa sangka, dua ‘pemabok’ ini justru menjadi inspirasi. Mereka menunjukkan bahwa kelelahan, rasa tidak nyaman, bahkan mual sekalipun, tidak bisa menghalangi niat baik untuk berangkat menjalankan tugas menjadi juri Porsema XIII di Kabupaten Wonosobo.
Di balik tubuh yang lemah, ada semangat yang kuat. Di balik kepala yang pening, ada visi yang jernih tentang pentingnya membina generasi muda melalui jalur seni dan literasi.
Porsema XIII mencatat banyak cerita. Tapi kisah dua ‘pemabuk’ ini yang datang dengan kepala pening dan pulang dengan kepala tegak akan menjadi salah satu yang paling dikenang.
Karena sejatinya, mabuk bukan soal kehilangan kendali. Tapi soal keberanian menembus batas, demi sebuah tanggung jawab yang harus diselesaikan, termasuk tanggung jawab menjadi Porsema XIII Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah. (DST1/Ibda).