Oleh : Fitria Agustin Indah Yulianti
Dika memandangi kelereng biru mengilap di telapak tangannya. Ini bukan kelereng biasa. Bukan hanya karena warnanya yang berkilau seperti langit cerah, tapi karena kelereng ini adalah hadiah dari kakeknya sebelum beliau pergi selamanya tiga bulan lalu.
“Ini kelereng keberuntungan,” begitu kata Kakek sambil menggenggamkan kelereng itu ke tangan kecil Dika. “Kakek percaya kelereng ini membawa keberanian bagi siapa pun yang memilikinya.”
Di usianya yang baru sembilan tahun, Dika tidak sepenuhnya mengerti apa makna keberanian itu. Yang ia tahu, sejak kelereng itu menjadi miliknya, ia selalu membawanya ke mana-mana ke sekolah, ke lapangan bermain, bahkan tidur dengan kelereng itu di bawah bantalnya.
Pagi itu, Dika terbangun dengan perasaan berat. Hari ini adalah hari lomba bercerita di sekolahnya. Ibu Guru Sari telah mendaftarkannya setelah terkesan dengan cerita yang Dika tulis di kelas bulan lalu, tentang petualangan seekor kucing yang mencari jalan pulang.
“Kamu punya bakat bercerita, Dika,” kata Bu Sari waktu itu. “Ibu yakin kamu bisa memenangkan lomba antar-kelas.”
Tapi Dika tidak seyakin gurunya. Bagaimana mungkin dia, yang gugup bahkan hanya untuk menjawab pertanyaan di kelas, bisa berdiri di depan seluruh sekolah dan bercerita? Setiap kali membayangkannya, perutnya terasa mulas dan kakinya lemas.
“Dika, sudah bangun, Nak?” Suara lembut ibunya terdengar dari luar kamar. “Ayo sarapan dulu. Ibu sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu.”
Di meja makan, Dika hanya mengaduk-aduk nasi gorengnya tanpa semangat.
“Kenapa, sayang? Nasi gorengnya tidak enak?” tanya ibunya khawatir.
Dika menggeleng pelan. “Enak kok, Bu. Hanya saja…” Ia menelan ludah. “Aku takut tampil di lomba nanti.”
Ibu mengusap rambut Dika dengan lembut. “Wajar kalau kamu merasa takut. Tapi tahu tidak? Keberanian bukan berarti tidak punya rasa takut. Keberanian adalah bertindak meskipun kita takut.”
Kata-kata ibunya mengingatkan Dika pada kelereng pemberian kakeknya. Ia merogoh saku celananya, merasakan permukaan licin kelereng biru itu di tangannya.
“Bu,” Dika mendongak menatap ibunya. “Menurutmu, apa benar kelereng dari Kakek ini membawa keberuntungan?”
Ibu tersenyum. “Kakekmu adalah orang yang bijaksana. Mungkin maksudnya bukan keberuntungan seperti yang kamu pikirkan. Mungkin kelereng itu untuk mengingatkanmu bahwa kamu memiliki keberanian di dalam dirimu, sama seperti yang dimiliki Kakek dulu.”
Dika terdiam, mencerna kata-kata ibunya. Ia ingat cerita-cerita tentang masa muda kakeknya bagaimana beliau meninggalkan kampung halaman sendirian di usia muda untuk mengejar pendidikan, bagaimana beliau tak pernah menyerah meski hidup tak selalu mudah.
“Ayo, habiskan sarapanmu. Kita berangkat sebentar lagi,” kata ibu, membuyarkan lamunan Dika.
*
Aula sekolah sudah ramai ketika Dika tiba. Anak-anak dari berbagai kelas berkumpul, beberapa berlatih cerita mereka dengan berbisik, yang lain tampak santai mengobrol dengan teman. Dika merasakan jantungnya berdebar semakin kencang.
“Dika!” Suara Rara, sahabatnya, membuatnya menoleh. “Aku sudah menunggumu dari tadi. Kamu tampil urutan berapa?”
“Kelima,” jawab Dika lirih. “Kamu?”
“Aku kedua. Aduh, aku gugup sekali!” Rara memeluk map berisi ceritanya. “Tapi aku sudah latihan semalaman dengan ayahku. Dia bilang aku semakin bagus!”
Dika tersenyum kecil, berusaha terlihat mendukung meski hatinya semakin ciut. Rara selalu percaya diri dan pandai berbicara di depan umum. Tidak seperti dirinya.
“Lomba akan dimulai dalam lima menit! Semua peserta harap berkumpul di belakang panggung!” seru Pak Danu, guru olahraga yang bertugas sebagai pembawa acara.
“Itu panggilan kita!” Rara menarik tangan Dika. “Ayo!”
Dengan langkah berat, Dika mengikuti Rara ke belakang panggung. Di sana, para peserta lain sudah siap dengan kostum dan properti mereka. Ada Bayu dari kelas 5-B yang membawa wayang kertas, Lintang dari kelas 6A yang mengenakan topi petualang, dan beberapa anak lain yang tampak sama gugupnya dengan Dika.
“Peserta pertama, Adit dari kelas 4A!” panggil Pak Danu.
Seorang anak laki-laki berkacamata maju ke panggung dengan langkah mantap. Dari belakang panggung, Dika bisa melihat seluruh aula, ratusan mata yang menatap ke arah yang sama, puluhan guru yang duduk di barisan depan dengan papan nilai di tangan. Pemandangan itu membuat lututnya lemas.
“Aku tidak bisa melakukan ini,” bisik Dika pada dirinya sendiri.
Satu per satu, peserta dipanggil. Rara tersenyum padanya sebelum melangkah ke panggung dengan penuh percaya diri. Dari balik tirai, Dika melihat bagaimana sahabatnya itu bercerita dengan ekspresif, membuat penonton tertawa dan terpukau. Tepuk tangan riuh terdengar ketika Rara menyelesaikan ceritanya.
Tiga peserta berikutnya tampil dengan baik, meski tak sebaik Rara. Dan kemudian…
“Peserta kelima, Dika dari kelas 4C!”
Jantung Dika seolah berhenti berdetak. Kakinya seperti tertanam di lantai.
“Dika dari kelas 4C?” Pak Danu mengulangi panggilannya.
Dengan tangan gemetar, Dika merogoh sakunya dan menggenggam kelereng biru pemberian kakeknya. Ia teringat kata-kata ibunya pagi tadi: “Keberanian bukan berarti tidak punya rasa takut. Keberanian adalah bertindak meskipun kita takut.”
Ia juga teringat mata kakeknya yang penuh keyakinan saat memberikan kelereng itu padanya. “Kakek percaya kelereng ini membawa keberanian bagi siapa pun yang memilikinya.”
Mungkin kelereng itu memang tidak ajaib. Mungkin keajaiban sebenarnya adalah keyakinan yang ditanamkan kakeknya bahwa Dika memiliki keberanian di dalam dirinya.
Dengan satu tarikan napas panjang, Dika melangkah ke panggung.
Cahaya lampu sorot menyilaukan matanya untuk sesaat. Di hadapannya, ratusan wajah menatap penuh harap. Di barisan depan, ia melihat Bu Sari tersenyum menyemangati. Dan di sudut belakang, ibunya berdiri dengan tangan terkatup di dada, matanya berkaca-kaca penuh kebanggaan.
Dika mengeluarkan kelereng biru dari sakunya, mengangkatnya tinggi sehingga berkilau terkena cahaya lampu.
“Cerita saya berjudul ‘Kelereng Ajaib’,” kata Dika, suaranya terdengar lebih jernih dan lebih kuat dari yang ia duga. “Ini adalah kisah tentang seorang anak yang menemukan bahwa kekuatan terbesar tidak selalu berasal dari benda ajaib, melainkan dari dalam diri kita sendiri…”
Dan begitulah, cerita mengalir dari bibir Dika seolah ia telah melakukannya sepanjang hidupnya. Tangannya yang tadinya gemetar kini bergerak luwes, mengilustrasikan setiap adegan dalam ceritanya. Suaranya yang biasanya lirih kini terdengar jelas hingga ke sudut ruangan, penuh emosi dan keyakinan.
Ketika Dika menyelesaikan ceritanya, keheningan sesaat menyelimuti aula. Kemudian, seperti badai yang datang tiba-tiba, tepuk tangan meledak dari seluruh penjuru ruangan. Beberapa anak bahkan berdiri, termasuk Rara yang melompat-lompat kegirangan di tempat duduknya.
Dengan wajah memerah dan senyum lebar, Dika membungkuk dan kembali ke belakang panggung. Jantungnya masih berdebar, tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena kegembiraan dan kebanggaan.
*
“Juara pertama lomba bercerita tahun ini adalah…” Kepala Sekolah membuka amplop dengan gerakan dramatis. “Dika dari kelas 4C!”
Riuh tepuk tangan kembali memenuhi aula. Dika, yang masih tidak percaya, didorong maju oleh Rara untuk menerima piala kecil dan sertifikat dari Kepala Sekolah.
“Selamat, Dika. Ceritamu sangat menginspirasi,” puji Kepala Sekolah.
Dengan piala di tangan, Dika menghampiri ibunya yang menunggunya di pinggir aula. Air mata haru mengalir di pipi wanita itu.
“Ibu bangga sekali padamu, sayang,” katanya, memeluk Dika erat.
“Aku tidak menyangka bisa menang, Bu,” bisik Dika.
“Ibu selalu tahu kamu bisa melakukannya. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri, sama seperti kami percaya padamu.”
Malam itu, sebelum tidur, Dika meletakkan piala kecilnya di rak buku dan menempatkan kelereng biru di sampingnya.
“Terima kasih, Kek,” bisiknya, membayangkan kakeknya tersenyum dari tempat yang jauh. “Aku mengerti sekarang. Keberanian itu memang sudah ada di dalam diriku. Kelerengmu hanya membantuku menemukannya.”
Dengan senyum damai, Dika terlelap, tangan kecilnya masih menggenggam kelereng biru yang kini memiliki makna jauh lebih dalam dari sekadar benda pembawa keberuntungan.
Malam itu, ia bermimpi tentang petualangan-petualangan baru, tantangan-tantangan baru, dan keberanian-keberanian baru yang menunggunya di masa depan. Karena kini ia tahu dengan atau tanpa kelereng ajaib bahwa ia memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang hidup lemparkan padanya.
Kelereng biru itu mungkin bukan benda ajaib seperti dalam dongeng-dongeng, tapi kekuatan yang diberikannya pada Dika, keyakinan untuk percaya pada diri sendiri, sungguh lebih ajaib dari apa pun yang bisa dibayangkan.