Cerpen

Legenda Kabupaten Magelang: Gunung Tertidur dan Janji Terlupakan

Ilustrasi Kabupaten Magelang

Oleh Dea Maula Silviyani

Di masa lampau, Magelang bukanlah kota biasa. Ia adalah permata di tengah lembah, dijaga oleh roh-roh gunung dan dikelilingi hutan yang berbisik dengan kisah-kisah tua. Di antara semua cerita, satu legenda paling dikenang: tentang Gunung Tertidur dan janji yang terlupakan.

Seorang anak yatim bernama Jaka tinggal di desa kecil di kaki Gunung Sumbing. Ia memiliki kemampuan mendengar suara alam, suara angin, bisikan sungai, dan nyanyian dedaunan. Suatu malam, Jaka mendengar panggilan dari arah puncak gunung. Suara itu bukan hanya suara alam biasa, tapi suara seorang putri tua dari masa lalu, yang meminta pertolongan.

Petualangan Jaka membawanya ke Borobudur yang tersembunyi oleh kabut ajaib, ke hutan-hutan tempat roh-roh leluhur berjalan, dan akhirnya ke puncak Gunung Tertidur, tempat rahasia Magelang yang sebenarnya disimpan tentang kota yang pernah menjadi pusat kerajaan besar yang kini dilupakan.

Namun kebangkitan kebenaran membawa ancaman: roh jahat yang pernah dikurung di bawah tanah mulai bangkit kembali.

Jaka mengayuh langkahnya menyusuri lereng gunung di tengah kabut tebal. Udara dingin membelai kulitnya, dan suara desir dedaunan seakan menyambut kehadirannya. Ia ditemani oleh seekor kijang putih kecil yang muncul setelah Jaka membebaskannya dari perangkap pemburu sehari sebelumnya. Kijang itu, ternyata, bisa berbicara dalam bahasa para penjaga hutan.

“Namaku Pundhi,” ujar kijang itu. “Aku adalah pelayan dari Putri Raras, penjaga terakhir kota yang hilang.”

“Putri Raras? Kota yang hilang?” Jaka mengerutkan dahi. “Kau maksud Magelang yang dulu?”

“Magelang yang lama, yang sejati. Kota yang dibangun dengan energi bumi dan langit. Sebelum manusia melupakannya dan menjadikan gunung sebagai tempat yang sepi.”

Mereka berjalan sepanjang malam, melewati teras-teras sawah yang diterangi cahaya kunang-kunang dan menyeberangi jembatan bambu yang dijaga oleh patung-patung batu. Setiap patung memiliki ukiran cerita, dan ketika Jaka menyentuhnya, ia melihat sekilas masa lalu: raja-raja yang duduk di singgasana, pasukan kuda yang melintas di atas awan, dan para rahib yang bermeditasi di bawah cahaya bulan.

Saat fajar menyingsing, mereka tiba di kaki Gunung Tertidur. Gunung ini tak tercatat dalam peta manapun, tersembunyi oleh mantra yang ditanamkan oleh para leluhur. Pundhi menggoyangkan tanduk kecilnya dan kabut pun terbuka, menampakkan sebuah gerbang batu yang menjulang.

“Di balik gerbang ini, segalanya berubah. Kau akan melihat Magelang seperti dahulu kala, Jaka. Tapi hati-hati, karena tidak semua yang terbangun dari tidur panjang itu bersahabat.”

Gerbang terbuka perlahan, dan Jaka melangkah masuk.

Di dalam, hutan berubah menjadi taman luas dengan arsitektur kuno: candi-candi berdiri megah, air mancur dari batu menyembur dari mulut naga, dan burung-burung eksotis berkicau dalam melodi yang nyaris seperti lagu. Namun tak ada manusia. Kota ini seakan membeku dalam waktu.

Di tengah taman, berdiri seorang wanita tua berjubah emas. Rambutnya perak, namun wajahnya menyimpan aura kekuatan yang lembut. Matanya memandang Jaka dengan harap.

“Kau datang juga, Anak Alam. Aku Putri Raras.”

“Mengapa saya dipanggil?” tanya Jaka.

“Karena hanya kau yang bisa membangkitkan kekuatan lama. Kota ini ditidurkan demi melindungi dunia dari Sang Arwah Hitam. Tapi segel itu mulai rapuh. Kau harus memilih: membangunkan kota, atau membiarkannya lenyap selamanya.”

“Dan kalau dibangunkan?”

“Akan ada perang. Tapi juga harapan.”

Jaka terdiam, namun suara angin dan bisikan pohon seakan menyemangatinya. Ia mengangguk.

“Aku akan membangunkannya.”

Putri Raras menaburkan bunga dari kantong emasnya, dan tanah pun bergetar. Candi-candi bercahaya, air mancur bersinar keemasan, dan satu per satu, sosok-sosok manusia mulai muncul seperti bangkit dari mimpi. Mereka adalah penduduk lama Magelang, roh-roh yang tertidur dalam waktu.

Tapi di kejauhan, langit mulai gelap. Dari celah tanah yang retak, asap hitam mulai mengepul. Sang Arwah Hitam telah merasakan bangkitnya kekuatan lama.

Jaka tidak sendiri. Ia ditemani para penjaga kuno: Ratu Wulan si penunggang harimau bersayap, Danu si pemanah bintang, dan Ki Jati, pohon hidup yang bisa berjalan dan berbicara.

Mereka memimpin pertahanan kota lama dari serangan roh-roh jahat yang keluar dari perut bumi. Pertempuran berlangsung di dataran luas antara Gunung Merapi dan Gunung Sumbing. Langit merah, tanah berguncang, dan candi Borobudur menjadi pusat perlindungan spiritual.

Di tengah pertempuran, Jaka menemukan bahwa ia adalah keturunan terakhir dari keluarga penjaga segel. Ia harus mengaktifkan Mantra Pelindung dengan menyanyikan lagu kuno di puncak Borobudur.

Dengan tubuh penuh luka dan suara yang nyaris hilang, Jaka berdiri di stupa utama. Ia menyanyikan lagu itu lagu yang tak pernah diajarkan padanya, tapi ia tahu secara naluriah. Tanah berhenti bergetar. Langit kembali biru. Roh jahat kembali tertidur.

Magelang terbangun. Tidak sebagai kota kuno yang terlupakan, tapi sebagai kota baru yang mengingat masa lalunya.

Jaka tidak kembali ke desanya. Ia tinggal sebagai penjaga Borobudur, bersama Putri Raras dan makhluk-makhluk yang kini hidup berdampingan.

Dan jika kau datang ke Magelang, dan mendengar desir angin di candi atau bisikan pohon di kaki gunung, mungkin itu suara Jaka. Atau Pundhi. Atau roh kota lama yang masih menjaga lembah hijau tempat legenda dan kenyataan berdampingan.

Namun kisah ini belum usai.

Di balik kemenangan itu, Putri Raras memperingatkan bahwa Sang Arwah Hitam tidak hancur, hanya tertidur. Untuk benar-benar mengakhiri ancaman, Jaka harus mencari empat pusaka suci yang tersebar di empat penjuru Magelang: Batu Bumi, Air Kehidupan, Api Sukma, dan Angin Penuntun.

Maka Jaka pun memulai perjalanan baru. Kali ini bersama Ratri, cucu Ki Jati yang bisa berubah menjadi burung elang raksasa, dan Panji, penjaga sungai yang bisa mengendalikan arus air. Mereka melewati Goa Suroloyo yang dihuni naga penjaga cahaya, mendaki Gunung Andong yang menyimpan roh api kuno, hingga menyelam ke Danau Menjer yang menyimpan Air Kehidupan.

Di setiap tempat, Jaka diuji: bukan hanya secara kekuatan, tapi juga hati. Di Goa Suroloyo, ia harus mengampuni musuh lamanya agar Batu Bumi muncul. Di Gunung Andong, ia harus melepas kemarahan demi mendapatkan Api Sukma. Dan di Danau Menjer, ia harus berani menyelam ke dalam ketakutannya sendiri.

Satu per satu pusaka terkumpul, dan kini hanya Angin Penuntun yang tersisa. Namun pusaka ini hanya muncul jika seseorang rela melepaskan semua yang dicintainya.

Di sinilah Jaka dihadapkan pada pilihan terberat: meninggalkan Magelang dan semua yang ia kenal demi keselamatan dunia. Ia menangis di bawah pohon tua, ditemani Pundhi dan Ratri.

“Jika kau pergi, aku takkan bisa ikut,” kata Pundhi.

“Dan aku akan kembali ke bentuk asalku,” ujar Ratri, yang sebenarnya adalah roh penjaga langit.

Jaka menatap mereka, lalu menatap kota Magelang di kejauhan.

“Aku mencintai kota ini, tapi jika harus berkorban agar ia tetap hidup… aku rela.”

Saat kata itu diucapkan, angin berhembus kencang. Dari balik awan, muncullah pusaka terakhir Angin Penuntun berbentuk suling emas. Jaka meniupnya, dan empat pusaka pun bersinar bersama.

Segel terakhir dibentuk, dan Sang Arwah Hitam terkunci selamanya. Magelang pun aman.

Jaka menghilang bersama angin, menjadi legenda.

Bertahun-tahun berlalu. Kota Magelang tumbuh dan berubah, namun tetap memelihara kebijaksanaan lama. Warga belajar hidup selaras dengan alam. Candi-candi dibersihkan, hutan dilestarikan, dan anak-anak diajarkan tentang roh penjaga dan warisan para leluhur.

Borobudur bukan hanya tempat wisata, tapi juga pusat ilmu dan kebijaksanaan. Para pemuda yang ingin menjadi penjaga kota harus belajar tentang bintang, tanah, air, dan nyanyian kuno. Dan tiap kali ada gerhana, seluruh kota berkumpul di bawah cahaya bulan, mendengarkan dongeng tentang Jaka.

Beberapa orang bersumpah mereka melihat kijang putih melintas di tengah malam. Beberapa mengaku mendengar suling emas dari arah gunung. Tak sedikit pula yang bermimpi tentang seorang pemuda yang berjalan di antara pohon dan batu, tersenyum tanpa berkata apa-apa.

Dan mereka tahu: sang penjaga masih ada. Tidak dalam wujud tubuh, tapi dalam suara alam, dalam nyanyian anak-anak, dalam keberanian dan kasih yang tak pernah usang.

Begitulah Magelang hidup: bukan hanya sebagai kota, tapi sebagai cerita yang terus tumbuh, diwariskan dari satu hati ke hati berikutnya.

-Penulis adalah mahasiswa Prodi PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Inisnu Temanggung

Tinggalkan Balasan

Exit mobile version