Cerpen

Pelita di Ujung Senja

Pelita di Ujung Senja

Oleh: Anisa Rejeki

Langit senja di ujung desa memerah lembut. Di beranda rumah sederhana itu, Bu Lastri duduk memandang sawah yang mulai merunduk, ditemani secangkir teh hangat dan lantunan azan dari surau kecil di kejauhan. Tubuhnya lebih kurus dari biasanya. Tangannya gemetar pelan saat memegang cangkir. Namun di balik senyumnya, ada semangat yang belum padam meski sakit perlahan menggerogoti tubuhnya.

Di dalam rumah, empat perempuan muda, buah hatinya, tengah berbincang hangat. Hari itu istimewa. Akhir pekan yang mempertemukan mereka semua di rumah masa kecil, rumah yang dibangun dengan peluh dan cinta orangtua mereka.

Sudah lebih dari tujuh tahun sejak suaminya, Pak Harun, berpulang dalam kecelakaan kerja. Sejak itu, Bu Lastri mengisi dua peran sekaligus sebagai ibu dan ayah. Ia bekerja tanpa kenal lelah, berjualan dipasar, dan menjahit apapun demi memastikan keempat anak perempuannya bisa sekolah. Kini, ia sedang sakit. Tapi ia tak mau menyerah.

“Ayah pasti bangga lihat kalian sekarang,” bisiknya pelan, menatap langit yang kian redup.

Anak sulungnya, Hana, kini telah menjadi guru SMA. Wajahnya lembut dan penuh kasih, mirip sang ayah. Ia duduk di samping ibunya, menggenggam tangan yang mulai dingin itu, seperti dulu saat kecil ia belajar membaca di pangkuan ibu.

“Kita semua bisa sampai di titik ini karena Ibu,” ucap Hana, suaranya bergetar.

Di sebelahnya, Rara, anak kedua, tersenyum hangat. Kerudung lebarnya rapi, dan Al-Quran tak pernah lepas dari pelukannya. Ia sedang menempuh kuliah di universitas Islam ternama, sambil mengajar mengaji anak-anak kampung.

“Ibu adalah alasan kenapa aku kuat menghadapi apapun,” kata Rara, menyentuh tangan ibunya dengan lembut.

Dita, si anak ketiga, tampak sibuk dengan skripsinya, tapi ia meluangkan waktu penuh untuk pulang. Mahasiswi tingkat akhir itu kini lebih sering menatap ibunya dengan cemas meski tak diucapkan.

“Doain aku ya, Bu. Aku janji, kalau lulus nanti, aku bakal lebih banyak di rumah,” bisiknya.

Lalu Lila, si bungsu, masih duduk di kelas 1 SMA. Ia paling sering menemani Bu Lastri saat tiga kakaknya sibuk kuliah atau bekerja. Ceria, penuh semangat, dan penuh ide-ide lucu yang selalu membuat ibunya tertawa.

“Nanti kalau aku jadi chef, kita buka warung makan ya, Bu? Namanya ‘Pelita Ibu’. Lila yang masak, Ibu yang duduk manis,” ucapnya sambil menggoda, menyembunyikan rasa takut melihat tubuh ibunya yang makin lemah.

Bu Lastri tertawa kecil. “Ibu belum mau duduk manis. Ibu masih mau lihat kalian sukses satu-satu.”

Mereka semua diam. Tak ingin menangis. Karena semangat ibu adalah semangat mereka selama ini. Dan kini, semangat itu tetap menyala, meski dalam tubuh yang ringkih.

Malam turun perlahan. Lampu kecil di ruang tamu menyala hangat. Keempat anak itu duduk mengelilingi ibu mereka, mengusap tangan dan keningnya, membisikkan cerita-cerita kecil. Bagi mereka, ibu bukan hanya rumah ibu adalah cahaya yang tak pernah padam.

Senja mungkin telah berlalu. Tapi pelita itu, ibu mereka, masih menyala. Dan dengan cinta anak-anaknya, ia percaya, ia akan sembuh. Karena ia belum selesai mencintai dunia yang ia bangun sendiri anak-anaknya.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan