Oleh : Indah Kurnia Sari
Angin sore berembus lembut di pelataran pendapa desa, membawa aroma tanah basah dan suara gamelan yang mengalun dari kejauhan. Di antara kerumunan, Lestari berdiri dengan kebaya kuning gading dan kain batik bermotif parang. Hari itu, ia akan menari Gambyong di perayaan panen, seperti yang dulu selalu ia lakukan bersama ibunya.
Namun, kali ini berbeda. Ibunya telah tiada, meninggalkan ruang kosong di hati Lestari yang tak kunjung terisi. Setiap gerakan tangan, setiap lengkung senyum, adalah upaya Lestari untuk menghidupkan kembali kenangan akan tangan lembut ibunya yang dulu membimbingnya menari di bawah cahaya lampu minyak.
Sebelum naik ke panggung, Lestari memejamkan mata, mengingat pesan ibunya, “Menarilah dengan hati, Nak. Biarkan rindumu menari bersamamu.” Kata-kata itu kini menjadi mantra yang menenangkan debar jantungnya.
Tabuhan kendang mulai terdengar, menandai awal Tarian Gambyong. Lestari melangkah ke tengah panggung, menundukkan kepala, lalu perlahan mengangkat tangan dengan gemulai. Setiap gerakan terasa seperti dialog sunyi antara dirinya dan ibunya. Penonton terdiam, terpaku pada kelembutan dan ketulusan yang terpancar dari setiap gerak tubuh Lestari.
Di barisan depan, Pak Darto, kepala desa, menatap Lestari dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu betapa berat beban rindu yang dipikul gadis itu. Namun, di atas panggung, Lestari justru tampak kuat, seolah ia menari bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk semua hati yang pernah kehilangan.
Saat musik mencapai puncaknya, Lestari menutup tarian dengan gerakan tangan melingkar, seperti merangkul udara. Ia membayangkan ibunya berdiri di sampingnya, tersenyum bangga. Air mata menetes di sudut matanya, tapi ia tetap tersenyum, membiarkan perasaan rindu itu mengalir bersama irama gamelan.
Tepuk tangan menggema, memecah keheningan. Lestari menunduk dalam, mengucap terima kasih dalam hati pada ibunya, pada semua kenangan, dan pada desa yang selalu menjadi rumah bagi rindunya.
Di malam itu, di bawah langit yang mulai bertabur bintang, Lestari duduk di tepi pendapa, menatap langit dan membiarkan angin membawa rindunya jauh, berharap sampai pada ibunya di alam sana. Ia tahu, selama ia menari dengan hati, cinta dan rindu itu tak akan pernah benar-benar hilang.
Tarian Gambyong malam itu bukan sekadar hiburan, melainkan persembahan bagi hati yang rindu, sebuah pengingat bahwa cinta selalu menemukan jalannya, bahkan lewat gerak dan irama yang sederhana.











