Esai

Keris Sabukinten dan Penjaga Merapi

Asal Usul Desa Rowo Temanggung

Oleh Lailiana Nurul Aini

Mahasiswa Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung

Bab 1: Desa di Lereng Gunung Merapi

Di sebuah desa kecil bernama Gandon, yang terletak di lereng Gunung Merapi, hiduplah seorang anak bernama Arga. Ia tinggal bersama neneknya yang bernama Nyai Ranti. Meski hidup sederhana, Arga adalah anak yang cerdas, rajin membantu, dan sangat menyayangi alam sekitar. Setiap hari, ia berjalan kaki ke sekolah melewati hutan bambu, sungai jernih, dan hamparan sawah yang hijau. Arga sangat menyukai cerita-cerita neneknya yang selalu sarat makna dan penuh kearifan lokal.

Bab 2: Cerita Tentang Keris Sabukinten

Suatu malam, saat hujan rintik-rintik dan angin berhembus dingin dari arah Merapi, Nyai Ranti bercerita tentang legenda Keris Sabukinten, sebuah keris pusaka peninggalan Mataram kuno yang konon dititipkan kepada penjaga alam Merapi untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Keris itu dikatakan bisa memberikan kesuburan tanah, mengatur aliran air, bahkan meredam amarah Merapi jika digunakan oleh orang yang berhati tulus dan mencintai alam.

“Tapi, siapa Penjaga Merapi itu, Nek?” tanya Arga penasaran.
“Dia akan menampakkan diri pada saat bencana besar datang, dan hanya anak berhati bersih yang bisa bertemu dengannya,” jawab Nyai Ranti.

Bab 3: Tanda-tanda Bahaya

Beberapa minggu setelah cerita itu, desa Gandon mulai merasakan sesuatu yang aneh. Sungai tiba-tiba surut, tanah menjadi retak-retak, dan burung-burung hutan beterbangan ke arah selatan. Lalu, pada suatu pagi, gunung Merapi mengeluarkan asap tebal dan suara gemuruh keras.

“Merapi sedang bangun,” kata Pak Lurah dengan wajah cemas. Semua warga mulai bersiap-siap mengungsi. Tapi Arga merasa gelisah. Ia teringat cerita tentang Keris Sabukinten. Dalam mimpinya, ia melihat sebuah bayangan memanggilnya ke hutan bambu tua di atas desa.

Bab 4: Perjalanan Mencari Keris

Pagi-pagi sekali, tanpa sepengetahuan siapa pun, Arga membawa bekal dan berjalan ke hutan bambu. Di sana, ia mengikuti suara gamelan halus yang entah datang dari mana. Suara itu menuntunnya ke gua kecil tersembunyi yang tertutup lumut.

Dengan berani, Arga masuk ke dalam gua. Di dalamnya, ia bertemu sesosok kakek tua berjubah putih. “Namaku Ki Jayengwesi, penjaga Keris Sabukinten,” ujar kakek itu. “Hanya anak yang berhati murni seperti kamu yang bisa menemukannya. Tapi, keris ini tak bisa kau bawa, kecuali kau tahu makna sejati menjaga keseimbangan alam.”

Bab 5: Ujian dari Alam

Untuk menguji ketulusan hati Arga, Ki Jayengwesi menyuruhnya melewati tiga ujian. Ujian pertama adalah menyelamatkan seekor kijang yang terperangkap di semak duri. Arga dengan sabar menolongnya meski tubuhnya terluka.

Ujian kedua adalah memilih antara mengambil batu emas atau menyelamatkan aliran air yang tersumbat. Arga memilih menyelamatkan aliran air demi sawah warga.

Ujian ketiga adalah menenangkan anak-anak burung yang kehilangan induknya. Arga membuat sarang baru dan menunggu di dekatnya sampai induknya kembali.

Bab 6: Mendapatkan Keris Sabukinten

Setelah berhasil melalui semua ujian, Ki Jayengwesi tersenyum. “Kau layak menjaga warisan ini. Tapi ingat, Keris Sabukinten bukan senjata untuk pamer kekuatan. Ia adalah lambang tanggung jawab dan kasih pada bumi.”

Saat Arga menggenggam keris itu, tubuhnya diterangi cahaya hangat. Ia merasa kekuatan alam menyatu dalam dirinya. Ki Jayengwesi pun perlahan menghilang, meninggalkan Arga di pintu gua dengan keris di tangan.

Bab 7: Menyelamatkan Desa

Ketika kembali ke desa, Arga melihat warga sudah mulai panik. Abu mulai turun dari langit, dan suara gemuruh makin keras. Dengan keberanian, Arga berlari ke arah kaki Merapi dan menancapkan Keris Sabukinten ke tanah.

Tiba-tiba, angin berhenti, langit menjadi tenang, dan suara gemuruh mereda. Awan abu perlahan tersapu angin, dan hujan turun membasahi desa. Gunung Merapi kembali tenang.

Pak Lurah dan warga tercengang. “Apa yang terjadi, Arga?” tanyanya.
Arga hanya tersenyum dan berkata, “Ini bukan karena aku. Ini karena kita semua mencintai alam, dan alam mendengar ketika kita menjaganya.”

Bab 8: Warisan dan Kearifan Lokal

Setelah kejadian itu, desa Gandon dikenal sebagai desa penjaga warisan alam. Setiap tahun, mereka mengadakan Upacara Kirab Keris Sabukinten, yang menjadi simbol keselarasan antara manusia, alam, dan leluhur. Arga tumbuh menjadi pemuda bijak yang menjadi panutan di desanya.

Cerita tentang Keris Sabukinten pun diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadi pengingat bahwa kekuatan sejati bukanlah pada senjata, tapi pada hati yang tulus dan cinta pada kehidupan.

Pesan Moral:
Menjaga alam dan mencintai sesama makhluk adalah warisan luhur yang harus terus dilestarikan. Setiap anak bisa menjadi pahlawan, bukan dengan kekuatan, tapi dengan hati yang baik dan keberanian untuk berbuat benar.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan