Cerpen

Bayang-Bayang di Lereng Penantian

Bayang-Bayang di Lereng Penantian

Oleh : Indah Kurnia Sari

Kabut pagi masih setia menyelimuti lereng gunung ketika Sari membuka jendela kayu rumahnya. Udara dingin menampar pipi, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru saja diguyur embun. Di kejauhan, barisan pohon pinus berdiri membisu, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak pernah benar-benar terucap. Lereng itu, dengan segala sunyi dan dinginnya, telah menjadi saksi bisu penantian Sari selama bertahun-tahun.

Sudah lima tahun Sari tinggal sendirian di rumah kecil itu, menanti seseorang yang pernah berjanji akan kembali. Setiap pagi, ia duduk di bangku bambu di depan rumah, menatap jalan setapak yang melingkar turun ke desa. Jalan itu, dulu, menjadi saksi langkah-langkah penuh harap saat ia melepas kepergian Rama ke kota. “Aku akan kembali sebelum musim panen,” janji Rama, suaranya masih terngiang di telinga Sari, menghangatkan hati di tengah dingin yang tak pernah benar-benar pergi.

Namun, musim panen datang dan pergi. Tahun demi tahun berlalu, kabar dari Rama tak pernah lagi sampai. Sari tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi. Hanya desas-desus yang berhembus dari para pedagang yang kadang singgah, menceritakan hiruk-pikuk kota yang menelan banyak mimpi. Ada yang bilang Rama telah sukses dan lupa jalan pulang, ada pula yang berkata ia terjebak dalam kerasnya kehidupan kota. Namun, Sari memilih percaya pada janji yang dulu diucapkan di bawah pohon kopi itu.

Di lereng itu, penantian berubah menjadi rutinitas. Sari menanam sayur di kebun, memanen kopi, dan sesekali menulis surat yang tak pernah terkirim. Setiap malam, ia menyalakan lampu minyak di jendela, berharap cahayanya menjadi penuntun bagi Rama jika suatu saat ia kembali. Ia bahkan menyiapkan secangkir kopi di meja, seperti kebiasaan mereka dulu, seolah Rama akan masuk kapan saja, membawa cerita baru dari luar sana.

Hari-hari Sari dipenuhi bayang-bayang. Bayangan Rama yang tersenyum di bawah pohon kopi, bayangan tangan yang menggenggam erat saat mereka menanam bibit pinus bersama, bayangan suara tawa yang kini hanya tinggal gema di antara lembah. Kadang, Sari merasa Rama berdiri di ambang pintu, membawa sekeranjang buah hutan seperti dulu. Namun, saat ia menoleh, hanya angin yang berbisik, membawa rintik hujan ke dalam hatinya.

Warga desa yang sesekali naik ke lereng sering menanyakan kabar Sari. “Mengapa kau masih menunggu?” tanya mereka, kadang dengan iba, kadang dengan nada menggoda. Sari hanya tersenyum, menahan getir yang mengendap di dada. Ia tahu, penantiannya telah menjadi bahan cerita, bahkan mungkin lelucon kecil di antara penduduk desa. Namun, ia tetap bertahan, seolah ada kekuatan tak kasatmata yang menahannya untuk pergi.

Suatu pagi, kabut lebih tebal dari biasanya. Sari menunggu lebih lama di bangku bambu, matanya menelusuri setiap sudut jalan setapak. Seekor burung hantu bertengger di dahan pinus, menatapnya lekat-lekat. Sari tersenyum pahit, menyadari betapa sunyinya lereng itu tanpa kehadiran yang dinanti. Ia mulai merasakan kelelahan yang tak hanya fisik, tetapi juga merayap ke dalam jiwa.

Hari itu, Sari menulis surat terakhir untuk Rama. “Aku lelah menunggu,” tulisnya dengan tangan gemetar. “Bayang-bayangmu terlalu lama tinggal di sini, membuatku lupa caranya berharap.” Surat itu ia letakkan di bawah batu besar di samping rumah, tempat Rama dulu sering duduk sambil bercerita. Ia duduk lama di sana, membiarkan air matanya jatuh, membasahi tanah yang pernah mereka pijak bersama.

Matahari perlahan menembus kabut, menerangi lereng yang mulai menguning. Sari berdiri, menatap ke arah desa di bawah sana. Ia tahu, penantian ini sudah terlalu lama. Di lereng penantian, hanya bayang-bayang yang setia menemaninya. Namun, hari itu, Sari melangkah turun, meninggalkan rumah kecil dan segala kenangannya. Ia memilih berjalan ke arah cahaya, membiarkan bayang-bayang itu perlahan menghilang di balik kabut pegunungan.

Langkah Sari terasa berat, namun ada kelegaan yang perlahan tumbuh di hatinya. Setiap langkah menjauh dari rumah adalah langkah menuju kebebasan dari penantian yang sia-sia. Ia tak tahu apa yang menantinya di bawah sana, di desa yang sudah lama ia jauhi. Namun, ia yakin, hidup harus terus berjalan, meski tanpa Rama di sisinya.

Di tengah perjalanan, Sari berhenti sejenak, menoleh ke arah rumah kecil di lereng. Rumah itu tampak samar di balik kabut, seolah menjadi bagian dari masa lalu yang tak lagi bisa ia gapai. Ia tersenyum, kali ini tanpa getir. Ia tahu, ia telah melakukan yang terbaik—menunggu dengan setia, mencintai dengan tulus, dan akhirnya, melepaskan dengan ikhlas.

Kini, di lereng itu, hanya angin dan kenangan yang tinggal. Sari tak lagi menunggu. Bayang-bayang di lereng penantian akhirnya menemukan akhirnya sendiri. Dan Sari, untuk pertama kalinya dalam lima tahun, melangkah ringan, menjemput harapan baru yang perlahan tumbuh di bawah sinar matahari pagi.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan