Oleh Miftakhur Rosidah
Tradisi menyajikan apem juroh saat malam Idulfitri merupakan salah satu kekayaan budaya yang masih lestari di beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah Jawa. Hidangan ini bukan sekadar makanan manis yang menggoda lidah, melainkan sarat makna spiritual dan sosial yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi ini menjadi penanda bahwa malam itu adalah malam kemenangan, sekaligus tanda bahwa esok hari akan menjadi Hari Raya Idulfitri.
Apem juroh, yang biasanya disajikan dalam tampah bersama juroh (semacam kuah manis dari gula merah dan santan), menjadi simbol pengampunan dan pembersihan diri. Dalam bahasa Jawa, “apem” berasal dari kata afwan (Arab), yang berarti maaf. Dengan menyantap apem juroh, masyarakat seolah menginternalisasi semangat saling memaafkan yang menjadi inti dari perayaan Idulfitri.
Yang menarik, tradisi ini digelar dalam bentuk semacam syukuran atau kenduri kecil yang dihadiri oleh para bapak-bapak. Mereka berkumpul, duduk melingkar, membaca doa bersama, lalu menyantap apem juroh dengan penuh kekhidmatan. Ini menjadi semacam forum informal untuk mempererat hubungan antarwarga, khususnya laki-laki yang mungkin selama Ramadan sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Tradisi ini mencerminkan kearifan lokal dalam menyatukan nilai-nilai keislaman dan budaya Jawa. Nuansa religius dari Idul fitri tidak lantas membuat masyarakat melupakan akar tradisionalnya. Sebaliknya, keduanya berjalan berdampingan dan saling melengkapi. Dengan begitu, Islam tidak hadir sebagai sesuatu yang asing, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai karakter masyarakat lokal.
Menghadirkan apem juroh juga menunjukkan betapa pentingnya makanan sebagai media komunikasi budaya. Dalam suasana malam takbiran yang sakral, apem juroh bukan hanya disantap untuk mengisi perut, tapi juga untuk mengisi batin dengan rasa syukur, kebersamaan, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik selepas Ramadan.
Syukuran malam Idul fitri dengan apem juroh juga memperlihatkan peran penting dalam menjaga tradisi. Di tengah perubahan zaman dan arus modernisasi, keterlibatan mereka menjadi pondasi penting agar nilai-nilai budaya ini tetap hidup. Mereka tidak hanya hadir sebagai peserta, tetapi juga sebagai penjaga memori.
Sayangnya, tradisi seperti ini mulai tergeser di beberapa tempat. Generasi muda lebih akrab dengan pesta kembang api dan euforia media sosial daripada duduk bersama menikmati apem juroh dalam suasana khidmat. Padahal, tradisi ini mengajarkan nilai-nilai yang sangat relevan: kebersamaan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap momen sakral.
Oleh karena itu, melestarikan tradisi apem juroh bukan hanya soal menjaga makanan khas, tetapi juga menjaga identitas budaya dan spiritual masyarakat. Pemerintah daerah, tokoh agama, dan pemuda setempat perlu bersinergi agar tradisi ini tidak punah termakan zaman. Mungkin bisa dimodernisasi dari segi penyajian atau dokumentasi, tapi esensinya harus tetap dijaga.
Akhirnya, apem juroh bukan hanya kuliner malam takbiran. Ia adalah simbol penyambut Idulfitri yang penuh makna. Tradisi ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya karena berhasil menahan lapar, tetapi juga mampu menjaga warisan leluhur dan menyatukan masyarakat dalam satu ikatan yaitu ikatan syukur dan saling memaafkan.