Wonosobo, DISTINGSI.com – Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) PWNU Jawa Tengah menyelenggarakan Kompetisi Pidato Bahasa Indonesia tingkat MTs/SMP dalam gelaran Porsema XIII 2025 yang diikuti pelajar dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Peserta hadir tidak hanya dari Wonosobo, tetapi juga dari Temanggung, Kudus, Kebumen, Kendal, Klaten, Tegal, Salatiga, serta sejumlah wilayah lainnya. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa kegiatan ini memiliki daya tarik luas sekaligus menjadi wadah pembinaan generasi muda lintas daerah yang berpusat di UNSIQ Wonosobo pada Kamis (11/9/2025).
Juri Lomba Pidato Bahasa Indonesia MTs/SMP, Ustazah Qonita Qotrunnada, Finalis AKSI Indosiar 2025 juga memberikan apresiasi dari pelaksanaan lomba seni.
“Alhamdulillah Pelaksanaan Lomba Pidato Bahasa Indonesia tingkat MTs/SMP berlangsung dengan sangat baik. Semua peserta antusias, berpartisipasi dan tampil dengan gaya serta ciri khas masing-masing. Meskipun ada beberapa kabupaten yang tidak mengirimkan peserta lomba pidato tingkat MTs/SMP, namun tidak menjadi masalah. Semoga tahun berikutnya semua kabupaten/kota mengirimkan delegasi pesertanya agar dewan juri benar-benar bisa menyeleksi yang terbaik,” kata dia.
Juri Lomba Pidato Bahasa Indonesia MTs/SMP Dr. Joni, M.Pd.BI., mengatakan bahwa kompetisi ini tidak sekadar menjadi ajang lomba pidato, melainkan sarana pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa percaya diri, memperkuat persaudaraan, menanamkan nilai persatuan, serta membangun kepedulian sosial.
“Melalui tema-tema yang diangkat, peserta menyuarakan pentingnya menjaga persatuan bangsa, memperkuat kerukunan antarumat beragama, meningkatkan kepedulian sosial, hingga menumbuhkan kesadaran menjaga lingkungan hidup,” kata dia.
Para peserta pidato Bahasa Indonesia MTs/SMP tampil dengan semangat tinggi dan saling mendukung. Hal ini menunjukkan bahwa program ini telah berhasil menumbuhkan rasa kebersamaan sekaligus memberikan pemahaman tentang pentingnya hidup dalam suasana toleransi. Mereka juga belajar untuk tetap mempertahankan identitas masing-masing tanpa harus menyakiti atau merendahkan pihak lain.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, semangat tersebut sejalan dengan berbagai praktik nyata yang sederhana namun bermakna, misalnya menjaga kebersihan lingkungan sekolah, menanam pohon, atau mengelola hama tanaman secara alami melalui kelas prakarya maupun proyek sekolah. Praktik-praktik ini tidak hanya mengajarkan pentingnya merawat alam, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama terhadap keberlangsungan kehidupan.
Salah satu peserta asal Kudus, Khumaira, menuturkan bahwa kegiatan ini memberikan pengalaman berharga untuk tampil lebih percaya diri. “Acara ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, pelaksanaannya pun sangat baik, ditambah dengan panggung besar yang semakin membangkitkan semangat peserta,” ungkapnya.
Tidak hanya peserta tingkat SLTP, jenjang MI/SD juga tampil penuh semangat di hadapan guru dan teman-temannya. Materi pidato yang mereka bawakan dinilai sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini, terutama terkait persoalan degradasi moral, etika, dan akhlak. Mereka juga menekankan pentingnya mengantisipasi kerusakan mental yang muncul akibat penggunaan teknologi secara tidak bijak.
Lebih jauh, para peserta turut menyinggung persoalan adab generasi muda yang kerap terpengaruh oleh perilaku sebagian kecil pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menegaskan bahwa pidato yang mereka sampaikan tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga ruang refleksi bersama mengenai pentingnya menjaga karakter, moral, dan akhlak bangsa.
Guru pembimbing bersama para peserta menyampaikan apresiasi atas pemilihan tema yang dianggap sangat menyentuh realitas masyarakat, khususnya kelompok yang menjadi korban berbagai persoalan sosial. Dengan demikian, kompetisi ini tidak hanya melahirkan generasi yang terampil berbicara, tetapi juga menegaskan bahwa pidato dapat menjadi media pendidikan moral dan sosial yang menumbuhkan kesadaran kolektif demi kehidupan bersama yang lebih baik.
Catatan tambahan datang dari juri lainnya, dai dan juga guru Pendidikan Agama Islam dari SMKN 4 Purworejo, Dr. Muhammad Ridho Muttaqin, M.Pd.I. Ia menilai ke depan sebaiknya lomba pidato untuk peserta putra dan putri dibedakan cabangnya. Hal ini penting karena karakter keduanya berbeda serta bertujuan memberi ruang pencarian bakat yang lebih spesifik. Selain itu, ia menyoroti kondisi ruangan yang kurang representatif. Suara dari cabang lain, terutama Senam NU yang menggunakan pengeras suara besar, kerap terdengar hingga ke area lomba pidato sehingga mengganggu konsentrasi peserta maupun juri. Untuk itu, ia merekomendasikan agar cabang dengan sound system besar dipisahkan dan dilaksanakan di ruang indoor agar tidak mengganggu jalannya lomba lain.
Dengan berbagai catatan tersebut, kompetisi pidato Bahasa Indonesia tingkat MTs/SMP ini tidak hanya menjadi ajang prestasi, tetapi juga forum pembelajaran kolektif. Semangat para peserta, dukungan guru pembimbing, serta evaluasi juri menjadi bekal berharga untuk penyelenggaraan berikutnya agar lebih baik dan lebih bermakna bagi generasi muda Ma’arif di Jawa Tengah. (DST1/Ibda)