Cerpen

Layar yang Meredup

Layar yang Meredup

Oleh: Sufi Saniatul Mabruroh

Mentari sudah naik sepenggalah, tapi Alya masih meringkuk di balik selimut, matanya terpaku pada layar ponsel. Jempolnya dengan cekatan menggulir beranda TikTok, berpindah dari satu video tarian ke video resep masakan yang tak akan pernah ia coba. Pagi, siang, bahkan hingga larut malam, hidupnya seolah berputar di sekitar aplikasi berlogo not balok itu. Kuliah? Tugas? Janji dengan teman? Semuanya seringkali tergeser oleh godaan notifikasi yang tiada henti.
Alya sebenarnya tahu ini tidak sehat. Tidurnya berantakan, matanya sering perih, dan yang paling parah, pikirannya selalu dipenuhi perbandingan. Melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna di TikTok membuatnya merasa insecure. Mengapa mereka bisa seramping itu? Mengapa liburan mereka selalu mewah? Mengapa prestasi mereka begitu membanggakan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, mengikis sedikit demi sedikit rasa percaya dirinya.
Suatu sore, saat mengerjakan tugas akhir yang seolah tak kunjung selesai, Alya merasa otaknya macet. Setiap lima menit, tangannya otomatis meraih ponsel, mencari hiburan singkat di TikTok. Hasilnya, tugasnya tak jalan, dan ia malah merasa semakin stres. Puncaknya, ia menangis sesenggukan di depan laptop. Ia lelah dengan dirinya sendiri, lelah dengan lingkaran setan ini.
Tiba-tiba, ia teringat perkataan dosen pembimbingnya saat seminar kesehatan mental beberapa waktu lalu: “Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah jeda dari hiruk pikuk digital.” Kalimat itu seperti tamparan. Jeda? Bagaimana bisa ia jeda dari TikTok yang sudah menjadi bagian dari dirinya?
Namun, tekadnya sudah bulat. Dengan tangan gemetar, ia membuka pengaturan ponselnya. Aplikasi TikTok, yang selama ini menjadi candunya, ia hapus. Kemudian, ia mematikan notifikasi dari semua media sosial lain. Rasanya seperti baru saja memutus urat nadi. Ada sedikit kepanikan, tapi juga secercah kelegaan.
Hari pertama tanpa TikTok terasa aneh. Alya merasa hampa, seperti ada yang hilang dari tangannya. Berkali-kali ia ingin meraih ponsel, tapi urung. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku fisik yang sudah lama terbengkalai, novel fantasi yang dulu sangat ia sukai. Sorenya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat kosnya, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan karena terlalu asyik rebahan sambil scroll. Udara segar, pepohonan rindang, dan suara anak-anak bermain yang tidak diduga malah memberinya ketenangan.
Hari kedua, ia mulai merasakan perubahan. Otaknya tidak lagi terasa penuh dengan informasi acak. Ia bisa fokus lebih lama pada tugasnya, dan ide-ide mulai mengalir. Bahkan, ia sempat membuat daftar masakan yang ingin ia coba, kali ini dengan niat sungguh-sungguh untuk memasak, bukan hanya melihat video resep.
Minggu pertama berlalu. Alya tidak lagi terbangun dengan rasa cemas untuk segera membuka TikTok. Tidurnya lebih pulas, dan matanya tidak lagi perih. Ia mulai meluangkan waktu untuk menelepon ibunya, bercerita tentang hari-harinya, dan bukan hanya sekadar mengirim pesan singkat. Ia juga kembali bertemu teman-temannya di kafe, menikmati percakapan nyata tanpa gangguan notifikasi.
Ia menyadari bahwa dunia di luar layar jauh lebih kaya dan bermakna. Ia bisa merasakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana: secangkir kopi hangat di pagi hari, percakapan ringan dengan tukang sayur, atau tawa renyah temannya. Perasaan insecure yang dulu sering menghantuinya perlahan memudar. Ia mulai menerima dirinya apa adanya, tanpa perlu membandingkan diri dengan standar kebahagiaan semu di media sosial.
Detox digital bukan berarti Alya menghilang sepenuhnya dari dunia maya. Ia masih menggunakan media sosial untuk hal-hal penting, namun dengan kesadaran penuh dan batas waktu yang jelas. Ia telah menemukan kembali kontrol atas dirinya, bukan lagi dikontrol oleh algoritma.
Hidupnya kini terasa lebih ringan, lebih tenang, dan yang terpenting, lebih otentik. Ia tersenyum, menatap keluar jendela, membiarkan mentari sore membasuh wajahnya. Layar ponselnya yang tadinya begitu mendominasi, kini meredup, memberi ruang bagi kehidupan nyata untuk bersinar lebih terang.

Tinggalkan Balasan

Exit mobile version