Oleh: Khansa Aisyatul Nabilla
Tari Wulang Sunu adalah salah satu bentuk kesenian tradisional khas Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, yang mengandung pesan moral dan edukatif. Nama “Wulang Sunu” berasal dari bahasa Jawa, yaitu wulang yang berarti mengajar dan sunu yang berarti anak, sehingga secara harfiah dapat diartikan sebagai “mengajar anak-anak.” Tarian ini tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga sebagai sarana penyampaian nilai-nilai kehidupan, termasuk sopan santun, kedisiplinan, hingga ajaran religi dalam balutan seni gerak dan musik yang merakyat. Awalnya, tarian ini berkembang di lingkungan pedesaan dan ditampilkan saat hajatan atau acara tradisional. Meskipun dibawakan dengan gaya yang menghibur, makna yang terkandung dalam tarian ini sangat mendalam, menjadikannya sebagai media edukasi yang menyenangkan dan efektif.
Dalam sejarahnya, Tari Wulang Sunu diyakini berkembang sejak tahun 1940-an di wilayah Candirejo, Borobudur, dan menyebar ke berbagai daerah di sekitar Temanggung. Pada masa itu, masyarakat masih sangat memegang teguh nilai-nilai lokal dan agama, sehingga tarian ini menjadi media penyampaian ajaran yang bisa diterima semua kalangan. Tarian ini dulunya juga dikenal dengan nama Gatholoco, sebuah istilah yang berasal dari kata nggratol (pas) dan loco (lucu), yang menggambarkan gaya jenaka dalam penyampaian pesan moral. Namun seiring waktu, nama tersebut berganti menjadi Wulang Sunu untuk mempertegas unsur pendidikannya. Gerakan dalam tarian ini pun tidak sembarangan. Penari biasanya menampilkan gerak-gerik khas yang menggabungkan unsur budaya Jawa, gerakan shalat, serta pola gerak yang menyerupai langkah silat atau pencak, mencerminkan keharmonisan tubuh dan jiwa.
Tari Wulang Sunu diiringi oleh musik tradisional seperti rebana terbang, gendang dodhok, dan jedhor. Iringan musik ini menciptakan ritme yang enerjik namun tetap sarat nuansa religi. Selain musik, kostum juga menjadi bagian penting dalam pertunjukan ini. Para penari, baik laki-laki maupun perempuan, mengenakan baju koko, selempang, celana panji, sampur, dan ikat kepala belangkon. Tak jarang pula dipadukan dengan hiasan seperti bulu ayam untuk mempercantik penampilan. Dulu, tarian ini hanya ditarikan oleh pria, tetapi kini remaja putri pun banyak yang terlibat, membuat gerakannya lebih lembut dan variatif. Biasanya, penari tampil dalam jumlah genap, seperti delapan atau dua belas orang, melambangkan keseimbangan dalam kehidupan.
Dalam perkembangannya, tarian ini mengalami inovasi dan adaptasi. Pada tahun 2012, maestro tari Indonesia Didik Nini Thowok memadukan Tari Wulang Sunu dengan Gatholoco menjadi tarian baru bernama “Wulanggatho”. Kreasi ini pertama kali ditampilkan dalam peringatan Hari Jadi ke-178 Kabupaten Temanggung. Dalam versi modern ini, unsur jenaka semakin ditonjolkan, diiringi dengan musik Islami dan penggunaan topeng-topeng lucu yang menarik perhatian generasi muda. Meski telah dimodifikasi, nilai inti dari tarian ini tetap terjaga, yaitu menyampaikan pesan kebaikan melalui seni yang menyenangkan.
Kini, upaya pelestarian Tari Wulang Sunu terus digalakkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Berbagai lomba dan festival digelar secara rutin di sekolah maupun tingkat kecamatan, untuk menarik minat generasi muda agar mau belajar dan melestarikan tarian ini. Salah satu desa yang aktif menjaga warisan ini adalah Desa Tanurejo, Kecamatan Bansari, yang memiliki kelompok tari bernama “Wulan Sunu Sekar Panuntun.” Mereka sering tampil dalam acara budaya desa, pertunjukan peringatan hari besar, hingga pementasan lintas daerah. Dengan terus adanya pelatihan, pembinaan, dan dukungan dari berbagai pihak, Tari Wulang Sunu tetap hidup dan relevan di tengah arus modernisasi.
Sebagai bagian dari warisan budaya tak benda, Tari Wulang Sunu memiliki potensi besar untuk menjadi identitas budaya daerah yang membanggakan. Ia bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan juga wadah pendidikan karakter yang berbasis budaya lokal. Dengan gerakan yang sederhana namun bermakna, musik yang menggugah, serta pesan moral yang kuat, Tari Wulang Sunu mampu menyentuh hati siapa pun yang menyaksikannya. Karena itu, sudah semestinya kita, sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kaya budaya, turut andil dalam menjaga, mengenalkan, dan mewariskan tarian ini kepada generasi berikutnya.