Esai

Bubur Suran : Tradisi Membuat Bubur Malam 10 Suro

Bubur Suran : Tradisi Membuat Bubur Malam 10 Suro

Oleh : Indah Kurnia Sari

Malam tanggal 10 Suro, yang bertepatan dengan 10 Muharram dalam kalender Islam, merupakan momen penting yang diperingati dengan berbagai tradisi di Nusantara. Salah satu tradisi yang sangat khas adalah pembuatan dan pembagian bubur Suro. Bubur ini bukan sekadar hidangan, melainkan sarana spiritual yang sarat makna, menjadi simbol doa keselamatan, harapan rezeki, serta penolak bala di awal tahun baru Hijriah.

Asal-usul bubur Suro berkaitan dengan kisah Nabi Nuh yang setelah keluar dari bahtera, bersama kaumnya membuat bubur dari berbagai jenis biji-bijian sebagai bentuk syukur dan pemenuhan kebutuhan bersama. Tradisi ini kemudian berkembang di Nusantara, terutama di Jawa, sebagai wujud perpaduan nilai Islam dan budaya lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Pada malam 10 Suro, masyarakat berkumpul bersama keluarga atau komunitas untuk memasak bubur secara gotong-royong, melambangkan kebersamaan dan kerja sama dalam menghadapi tahun baru.

Bubur Suro dibuat dari beras putih yang dimasak dengan santan dan dicampur berbagai bahan seperti kacang-kacangan, ketan hitam, irisan telur, dan lauk pelengkap seperti tempe goreng dan telur rebus. Setiap bahan memiliki makna filosofis, misalnya beras melambangkan kesucian dan awal yang baru, sedangkan tujuh jenis kacang melambangkan tujuh hari dalam seminggu, menggambarkan keseimbangan hidup dan keberkahan. Proses memasak bubur ini dilakukan dengan penuh khidmat sebagai bentuk refleksi dan doa bersama.

Tradisi bubur Suro juga menjadi momen untuk bersyukur dan berdoa memohon keselamatan serta kesejahteraan bagi seluruh anggota komunitas. Di beberapa daerah, seperti Desa Pegandon, acara pembuatan bubur Suro di malam 10 Suro diiringi dengan doa bersama yang dipimpin tokoh agama, menambah kekhidmatan dan makna spiritual dari tradisi ini. Selain sebagai sajian kuliner, bubur Suro berfungsi sebagai ubarampe, alat untuk memaknai dan menyambut tahun baru Islam dengan penuh harapan dan rasa syukur.

Dengan demikian, malam 10 Suro dan tradisi bubur Suro menjadi simbol kuat perpaduan antara nilai keagamaan dan budaya lokal yang terus dilestarikan. Tradisi ini tidak hanya mempererat tali silaturahmi antarwarga, tetapi juga mengajarkan pentingnya kebersamaan, rasa syukur, dan doa dalam menjalani kehidupan yang penuh berkah di tahun yang baru.

Tinggalkan Balasan

Exit mobile version