Esai

Bulan Suro dan Larangan Menikah: Antara Mistis dan Budaya Jawa

Bulan Suro dan Larangan Menikah: Antara Mistis dan Budaya Jawa (Foto: Tribunnews.com)

Oleh: Anisa Rejeki

Istilah “pantangan menikah di bulan Suro” tentu sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Jawa. Di berbagai daerah, bulan Suro kerap dianggap sebagai waktu yang tidak baik untuk menggelar acara besar, apalagi pernikahan. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun dan masih dipegang teguh oleh banyak orang hingga kini. Namun, lebih dari sekadar kepercayaan tradisional, larangan ini sesungguhnya menyimpan makna yang lebih dalam, berkaitan dengan nilai spiritual dan budaya lokal.

Dulu, masyarakat tidak banyak bertanya soal alasan logis di balik larangan tersebut. Yang penting, kalau sudah masuk bulan Suro, maka hajatan besar seperti pernikahan sebaiknya ditunda. Namun seiring dengan perkembangan zaman, semakin banyak orang yang mulai mempertanyakan: apakah larangan menikah di bulan Suro hanya mitos belaka? Atau memang ada alasan historis dan budaya yang patut dipahami?

Bulan Suro dalam kalender Jawa dipercaya sebagai bulan yang sakral. Bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Islam, bulan ini dianggap sebagai waktu untuk berintrospeksi, menenangkan diri, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Oleh karena itu, kegiatan yang bersifat hura-hura, pesta, atau perayaan dianggap kurang pantas dilakukan dalam suasana yang seharusnya khidmat dan sunyi.

Larangan menikah di bulan Suro bukan berarti menikah adalah perbuatan buruk. Justru, ini adalah bentuk penghormatan terhadap waktu yang diyakini penuh energi spiritual. Dalam tradisi Jawa, bulan Suro juga kerap dihubungkan dengan dunia gaib, sehingga masyarakat cenderung menghindari kegiatan besar agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun di sisi lain, penting juga untuk memahami bahwa budaya dan kepercayaan bisa berkembang. Tidak sedikit pasangan masa kini yang tetap melangsungkan pernikahan di bulan Suro dan tetap hidup bahagia tanpa gangguan berarti. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan tradisional bisa dipahami secara fleksibel, tanpa mengabaikan nilai-nilai luhur di dalamnya.

Proses memahami larangan ini bisa dilakukan dengan cara yang terbuka. Misalnya, dengan berdiskusi bersama orang tua atau tokoh masyarakat, membaca sejarah budaya Jawa, atau merenungi makna spiritual di balik setiap tradisi. Yang penting, kita tidak serta-merta menolak atau mengikuti, melainkan mencoba mengerti maknanya secara utuh.

Selain itu, pelestarian budaya seperti ini bisa menjadi ajang untuk mempererat hubungan generasi muda dengan kearifan lokal. Dengan memahami alasan di balik larangan menikah di bulan Suro, kita belajar untuk menghormati budaya tanpa harus terjebak dalam ketakutan. Justru dari sinilah tercipta keseimbangan antara modernitas dan tradisi.

Namun tentu saja, keyakinan tetaplah urusan pribadi. Tidak ada satu panduan mutlak yang harus diikuti semua orang. Selama pernikahan dilakukan dengan niat baik, persiapan matang, dan restu keluarga, maka waktu pelaksanaannya bisa disesuaikan dengan kondisi dan keyakinan masing-masing.

Pertama, penting bagi keluarga dan masyarakat untuk tidak memaksakan kepercayaan tanpa memberi ruang dialog. Kedua, lembaga pendidikan juga bisa mengajak generasi muda untuk mengenali budaya Jawa secara lebih kritis namun tetap hormat. Diskusi budaya, pelatihan tradisi, atau pelestarian seni Jawa bisa menjadi media yang positif.

Dengan begitu, larangan menikah di bulan Suro tidak hanya menjadi mitos yang menakutkan, tetapi menjadi bagian dari kekayaan budaya yang bisa dipahami secara arif. Karena memahami budaya bukan soal ikut-ikutan, tapi soal bagaimana kita bisa hidup selaras dengan akar, hati, dan zaman.

Tinggalkan Balasan

Exit mobile version