Oleh : Tri Nadya Septiyaningrum
Di bawah langit Temanggung yang mendung, suara gamelan mengalun pelan, seolah-olah ikut merasakan getir hati Pak Darto. Lelaki berusia 60 tahun itu memandang ke arah panggung tempat para penari kuda lumping tengah beraksi. Mereka melompat, mengunyah beling, hingga kerasukan. Penonton berdesakan di pinggir lapangan, sebagian merekam dengan ponsel pintar, sebagian lagi mengobrol tanpa memperhatikan pertunjukan.
“Kesenian ini makin sepi peminatnya, Pak,” ujar Darto kepada Narto, sahabat lamanya yang duduk di sebelahnya.
“Anak-anak muda lebih suka main game online sekarang,” jawab Narto sambil menghela napas panjang.
Darto mengangguk. Ia tahu benar bahwa anaknya, Satria, yang dulu pernah belajar kuda lumping, kini lebih sering terlihat di warnet daripada di panggung latihan. Darto ingat betul bagaimana Satria kecil dengan mata berbinar menirukan gerakan kuda lumping. Tapi kini, layar ponsel dan suara notifikasi telah menggantikan suara gamelan.
Di rumah, Darto mendapati Satria sedang asyik bermain game di ponselnya. “Tria, kenapa nggak latihan kuda lumping? Lusa ada pertunjukan besar di alun-alun.”
Satria tidak mengalihkan pandangannya dari layar. “Ah, udah nggak zaman, Pak. Lagi pula, hadiahnya kecil. Mending ikut turnamen game online, bisa dapat jutaan.”
Darto hanya terdiam. Malam itu, ia termenung di ruang tamu yang penuh dengan perlengkapan kuda lumping peninggalan kakek buyutnya. Peralatan itu kini berdebu, tak terpakai.
Keesokan harinya, Darto memutuskan untuk mengajak Satria melihat latihan kuda lumping. Mereka tiba di sanggar yang sepi. Para penari hanya tersisa tiga orang, semuanya berusia di atas 50 tahun. Satria tampak bosan, tapi Darto tak menyerah. “Lihat mereka, Tria. Dulu, aku dan kakekmu di usia seumuranmu sudah bisa menari seperti itu. Kuda lumping bukan sekadar tarian, tapi bagian dari jati diri kita.”
“Jati diri? Tapi siapa yang peduli, Pak? Orang-orang lebih peduli konten viral daripada tari tradisional,” jawab Satria sinis.
Darto menunduk, menahan perih di hatinya. Namun, sebuah ide tiba-tiba terlintas. “Kalau begitu, kenapa tidak kita buat kuda lumping jadi viral?”
Satria menoleh, keningnya berkerut. “Maksudnya?”
Darto tersenyum. “Besok, kamu ajak teman-temanmu buat video latihan kuda lumping. Kita padukan dengan musik modern. Kalau kontennya menarik, siapa tahu bisa viral.”
Mata Satria berbinar. Mungkin, inilah kesempatan untuk menyatukan dua dunia yang selama ini berseberangan dunia tradisi dan dunia digital.