Cerpen

Pendidikan yang Tidak Tertulis di Papan

Kunjungan RA KH. Hasyim Asy’ari Outing Class di Taman Bermain The Nice Park Solo

Oleh: Zahra Agid Tsabitah

Pagi itu, langit di atas perbukitan Temanggung terlihat jernih. Kabut tipis masih menyelimuti lereng Gunung Sindoro saat anak-anak berseragam merah-putih berjalan beriringan menuju sekolah. Taufik, seorang siswa kelas lima SDN Mekarsari 1, melangkah cepat sambil memegang tas lusuh berisi buku tulis dan bekal nasi tempe goreng dari ibunya.

Di ruang kelas yang sederhana, Bu Rini berdiri di depan papan tulis dengan senyum khasnya. Ia bukan hanya mengajarkan matematika dan bahasa Indonesia, tetapi juga menjadi sosok yang menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam setiap pengajaran.

“Hari ini kita belajar tentang gotong royong dan rasa hormat terhadap sesama,” kata Bu Rini sambil menggambar dua lingkaran besar yang saling bersinggungan di papan tulis.

“Kenapa gotong royong itu penting, Nak?” tanyanya sambil menatap satu per satu murid.

“Karena kita nggak bisa hidup sendiri, Bu,” jawab Taufik dengan nada malu-malu.

“Bagus, Taufik. Kamu tahu kenapa kita harus menghormati orang lain?”

Taufik diam sebentar, lalu menjawab, “Supaya orang lain juga menghormati kita.”

Bu Rini mengangguk pelan. “Dan karena setiap orang berharga, tidak peduli tua, muda, miskin, atau kaya. Ingat ya, nilai-nilai itu tidak hanya kita pelajari, tapi kita jalankan.”

Usai sekolah, Taufik berjalan kaki melewati kebun tembakau. Hari itu panas terik, dan dari kejauhan ia melihat sosok tua membungkuk di pinggir kebun. Pak Jaya, tetangga sebelah rumah yang sudah berumur lebih dari 70 tahun, sedang berusaha mengangkat karung pupuk yang terlalu berat untuk tubuh tuanya.

Taufik ragu. Ia tahu ibunya pasti khawatir kalau ia pulang terlambat. Tapi dalam hati, suara Bu Rini bergema lagi: “Nilai itu harus dijalankan.”

Ia pun melangkah mendekat. “Pak Jaya, saya bantu ya,” katanya sambil mengangkat salah satu ujung karung.

Pak Jaya tersenyum, napasnya terengah. “Wah, matur nuwun, Taufik. Anak-anak sekarang jarang yang peduli begini.”

Selesai membantu, Pak Jaya memberi Taufik seikat kacang tanah hasil panennya. “Buat ibumu ya, sebagai ucapan terima kasih.”

Taufik menolak, tapi Pak Jaya tetap memaksa. “Ini hadiah, bukan bayaran. Orang baik harus dihargai.”

Sesampainya di rumah, sang ibu, Bu Siti, tampak cemas menunggu di teras. “Kamu dari mana saja, Le?”

Taufik menceritakan semuanya. Ia menunjukkan kacang pemberian Pak Jaya.

Alih-alih marah, Bu Siti memeluk anaknya erat. “Nak, ibu senang kamu tidak hanya mendengar pelajaran, tapi juga menjalankannya. Ibu doakan kamu jadi orang besar yang tetap rendah hati.”

Malam itu, sambil duduk di depan rumah, Taufik memandangi langit Temanggung yang bertabur bintang. Ia membayangkan suatu hari nanti, dirinya akan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga punya hati. Seperti kata Bu Rini: “Karakter yang kuat adalah harta paling berharga.”

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan