Cerpen

Sepenggal Cinta di Musim Panen

Sepenggal Cinta di Musim Panen

Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla

Langit Desa Randuwetan sore itu berwarna jingga keemasan, memantul di permukaan air sawah yang mulai surut. Angin berhembus pelan, membawa aroma khas jerami dan tanah basah. Di sepanjang pematang, para petani bekerja memanen padi dengan semangat, canda tawa menyatu dengan suara sabit yang menyayat batang padi.
Di antara mereka, ada seorang gadis muda bernama Sari. Wajahnya tenang, dibingkai kerudung lusuh yang sudah terkena noda lumpur. Ia tidak banyak bicara, tapi gerak-geriknya lincah. Kedua tangannya terampil mengikat ikatan padi dan mengangkatnya ke atas gerobak. Sejak kecil, Sari sudah terbiasa dengan kerasnya hidup di desa. Ia tahu bagaimana caranya bertahan, tapi dalam diamnya ia juga tahu bagaimana cara menyimpan perasaan.
Musim panen dua tahun lalu adalah awal dari kisah yang tak pernah benar-benar selesai. Saat itu, datanglah Raka, seorang mahasiswa pertanian dari kota yang sedang menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Randuwetan. Awalnya, warga desa menganggap kehadiran mahasiswa-mahasiswa itu hanya sebagai formalitas belaka. Tapi Raka berbeda. Ia turun langsung ke sawah, ikut memikul karung gabah, dan bahkan pernah terjebak hujan bersama petani lain di gubuk kecil dekat pematang.
Sari memperhatikannya dari jauh. Bukan karena ketampanan Raka, tapi karena kerendahan hati dan caranya menghormati warga desa. Lambat laun, mereka mulai saling mengenal. Setiap kali istirahat, Sari dan Raka duduk bersebelahan sambil menikmati tempe goreng dan teh panas buatan ibu Sari. Percakapan mereka sederhana tentang tanah, tanaman, dan mimpi-mimpi kecil. “Aku suka desa ini,” ujar Raka suatu sore, ketika mereka berteduh di bawah pohon randu usai hujan turun tiba-tiba.
Sari menoleh dengan ragu. “Kenapa?”
Raka menatap ke arah sawah yang mulai menguning. “Karena di sini aku merasa hidup lebih nyata. Orang-orangnya hangat. Dan…” ia berhenti sejenak, “ada seseorang yang membuatku ingin tinggal lebih lama.”
Sari hanya tersenyum malu. Hatinya bergemuruh, tapi ia tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya anak petani, lulusan SMA yang tak pernah menginjak kota. Sementara Raka, seorang mahasiswa pintar yang pasti punya masa depan cerah.
Waktu berjalan cepat. Tak terasa hari terakhir KKN pun tiba. Sari tidak sempat bertemu Raka karena harus membantu ibunya di sawah seharian. Saat malam menjelang, ibunya memberikan sepucuk surat.
“Tadi Raka nitip ini,” kata ibunya sambil menyerahkan amplop putih kecil.
Dengan tangan gemetar, Sari membuka surat itu. Tulisan tangan Raka rapi dan tegas.
Sari,
Terima kasih karena telah menjadi bagian dari perjalanan singkatku di Randuwetan. Dari kamu, aku belajar tentang ketulusan dan makna kerja keras. Aku tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tapi aku percaya pada waktu dan takdir. Jika suatu hari kita dipertemukan kembali, aku ingin melanjutkan cerita ini… bukan hanya di musim panen, tapi di semua musim hidup kita.
-Raka
Air mata Sari jatuh membasahi sudut surat itu. Ia menyimpannya di dalam kotak kayu kecil, bersama mimpi yang tak pernah ia ucapkan dengan suara.
Dua tahun telah berlalu. Sari tetap tinggal di Randuwetan. Ia kini membantu mengajar anak-anak ngaji di surau kecil dekat rumah. Tidak banyak yang berubah. Ia tetap turun ke sawah setiap pagi, membantu ayahnya yang kini mulai sering sakit-sakitan. Ia tidak pernah tahu kabar Raka sejak surat itu. Apakah ia sudah lulus? Apakah ia sudah bekerja di kota besar? Apakah ia masih mengingat musim panen yang dulu?
Namun, setiap kali musim panen tiba, Sari kembali berdiri di pematang yang sama. Ia menatap langit yang sama, berharap pada sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali.
Hingga sore itu, saat matahari hampir tenggelam dan burung-burung kembali ke sarang, terdengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Sari mengintip dari balik pintu. Seorang laki-laki berdiri di sana, membawa ransel dan mengenakan kemeja sederhana yang basah karena keringat.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya pelan, namun cukup jelas.
Sari tercekat. Ia mengenali suara itu.
“Raka?”
Raka tersenyum. “Aku kembali, Sari.”
Sari terdiam. Dadanya penuh tanya, tapi juga harapan yang pelan-pelan tumbuh lagi.
“Aku bukan datang untuk sekadar melihat panen,” lanjut Raka. “Aku datang untuk menuai sesuatu yang sudah lama kutanam. Kalau kamu masih menyimpannya…”
Sari tak bisa menahan air matanya. Ia menunduk, lalu mengangguk pelan.
Musim panen tahun ini, sawah Randuwetan tak hanya memanen padi. Tapi juga cinta yang telah lama tumbuh, diam-diam, dalam hati dua insan yang sederhana.

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan