oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Hujan baru saja berhenti ketika Rian mengejar layangan putihnya yang putus terbawa angin. Angin sore masih basah, mengembuskan aroma tanah, dan langkah kakinya membawanya ke sebuah gang sempit di antara dua rumah tua yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya.
Gang itu sunyi. Tanaman rambat menjuntai dari dinding, dan lumut menebal di jalan batu yang retak-retak. Di ujung gang, berdiri sebuah toko kecil yang tak pernah ia lihat.asing pikirnya. Karena ia sendiri Tidak ada papan nama besar, hanya sebuah tulisan kecil di kaca jendela
Toko Waktu. Buka Hanya untuk Mereka yang Butuh
Rian, anak kelas enam yang sering lupa waktu, tak mengerti apa maksudnya. Tapi rasa penasaran lebih kuat dari rasa takutnya. Ia mendorong pintu kayu berderit, dan bel kecil di atas pintu berbunyi:
Kriiinggg…
Di dalam, aroma kayu tua bercampur wangi teh hangat menguar. Jam-jam berdetak dengan ritme aneh—ada yang berdetak cepat, ada yang lambat, dan ada yang malah berdetak mundur. Jam dinding besar berbentuk matahari, jam pasir raksasa yang pasirnya seperti bintang, dan jam tangan yang bergerak mengikuti detak jantung.
Di balik meja kayu, berdiri lelaki tua berjanggut putih mengenakan topi tinggi seperti penyihir. Matanya tajam namun penuh kelembutan.
“Kau datang karena kehilangan waktu, bukan?” katanya.
“Aku… cuma cari layangan.”
Lelaki itu tersenyum. “Bukan layangan yang membawamu ke sini, Rian. Tapi penyesalan yang belum kau sadari.”
Rian memandang sekeliling. “Ini toko apa?”
“Toko Waktu,” jawab lelaki itu. “Kami menjual waktu. Tapi bukan dengan uang. Di sini, waktu ditukar dengan sesuatu yang lebih berharga.”
Rian tertawa kecil. “Mana bisa beli waktu?”
Lelaki itu mengeluarkan botol kaca kecil berisi cahaya keemasan. “Ini satu menit. Kau bisa menukarnya dengan satu kenangan paling berharga yang kau punya.”
Rian mengerutkan dahi. “Kenangan?”
“Ya. Satu momen di hidupmu yang kau rela lepaskan dari ingatan. Sebagai bayarannya, kau dapat satu menit tambahan.”
Rian terdiam lama. Lalu ia berkata pelan, “Suatu pagi, aku dan Ibu bikin pancake bentuk dinosaurus. Kami tertawa karena bentuknya jelek banget…”
Cahaya dari botol menyala lebih terang. “Itu cukup. Satu menit ditambahkan ke harimu.”
Sejak hari itu, Rian sering kembali. Ia mulai mengerti bahwa waktunya selalu terasa cukup saat ia menukarnya. Satu menit cukup untuk menolong teman, menulis PR, memeluk ibunya. Kadang, ia menukar kenangan kecil tawa di taman, senyum di hari ulang tahun, suara guru TK-nya dulu.
Namun, bayarannya berat. Ia mulai lupa hal-hal kecil yang dulu membuatnya bahagia. Saat melihat foto masa kecil, ia tak lagi mengingat cerita di baliknya. Ia kehilangan potongan jati dirinya.
Tapi ia terus datang.
Sampai suatu sore, dunia Rian berubah.
Ibunya pulang dari rumah sakit dengan wajah pucat dan napas lemah. “Ibu cuma butuh istirahat, ya,” katanya, berbohong dengan suara pelan.
Malamnya, Rian lari ke gang buntu dengan air mata. Ia mendobrak pintu toko waktu.
“Kakek! Aku ingin waktu lebih banyak dengan Ibu! Tolong!”
Lelaki tua itu menatapnya. Tak ada senyum kali ini.
“Aku bisa memberimu jam pasir ini,” katanya sambil menyerahkan jam pasir perak kecil.
“Apa ini bisa membuat Ibu sembuh?”
“Tidak,” jawabnya lembut. “Tapi ini bisa mengingatkanmu untuk menghargai setiap detik. Gunakan waktu itu. Hari ini. Sekarang.”
Sejak itu, Rian tak lagi datang ke toko itu. Ia tidak menukar apa pun lagi. Ia hanya mulai menghitung detik. Ia merekam suara ibunya saat bercerita, memasak bersamanya, menggambar, menulis puisi, memeluk lebih lama.
Dan saat akhirnya ibunya benar-benar pergi, Rian tak lagi menangis sekeras dulu.
Karena ia tahu waktu mereka telah digunakan sepenuhnya.
Bertahun-tahun kemudian, saat Rian remaja lewat di gang itu, ia sadar gang buntu itu tak lagi ada. Hanya dinding polos dan jalan buntu biasa. Tapi kadang, saat ia menutup mata, ia bisa mendengar bunyi lonceng lembut:
Kringg…toko waktu. buka hanya untuk mereka yang butuh.
Dan dalam hatinya, ia tahu ‘waktu bukan soal panjangnya hidup, tapi seberapa penuh kau menggunakannya.’