Artikel

Contoh Makalah Konsep Diri dalam Sudut Pandang Etika Islam

RISE Ceremony

Disusun oleh: SYAFIUL ROKHIM
Dosen Pembimbing: Hamidulloh Ibda

Alhamdulillah segala puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taufiq dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul ” KONSEP DIRI DALAM SUDUT PANDANG ETIKA ISLAM”. Semoga hal ini dapat berguna bagi kami sebagai mahasiswa dan juga rekan-rekan semua, terutama untuk menambah khazanah keilmuan serta wawasan dalam bidang filsafat.
Terlepas dari itu semua, dengan segala kemampuan dan usaha yang dilakukan kami telah berupaya agar makalah ini dapat mudah dipahami terutama oleh kami sendiri dan para mahasiswa. Oleh karena itu jika terdapat kekurangan dalam penyusunan dan materi dalam makalah ini itu semata-mata karena kekurangan yang ada pada kami, karena kita ketahui bahwa manusia tidak terlepas dari kekurangan.
Dan tentunya kami-pun berharap masukan dan saran yang bermanfaat dan berguna untuk meningkatkan nilai keilmuan dan wawasan kami dalam ilmu filsafat umum ini. Akhirnya dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga apa yang telah kami usahakan dicatat oleh Allah Subhanahu wa Ta’alasebagai amal kebaikan dan bermanfaat. Amin ya robbal’alamin. Atas segala perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

BAB I
A. Pendahuluan

  1. Latar belakang
    Ciri-ciri etika islam didasarkan pada kekuatan Al-Quran Dan Al-Hadits, yang didalamnya mengandung unsur keimanan dan kepercayaan adanya hari pembalasan. Pada saat itu, perbuatan-perbuatan yang saleh akan mempunyai arti yang sangat penting, sedangakan perbuatan yang buruk akan mendapatkan hukumannya. Al-Quran diyakini sebagai panduan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya, agar tindakannya sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan. Al-Quran –bagi umat islam- diyakini kebenarannya sebagai wahyu tuhan bagi umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi akhir jaman. Untuk itu, didalam ayat Al-Quran sangat jelas pemilihan antara yang baik dan yang buruk, antara dosa dan pahala dan antara kebenaran dan kesalahan. Apabila seseorang melakukan penyimpangan terhadap perintah Ilahi, ia akan mendapat hukuman atas tindakan-tindakannya itu.
    Selain itu, adanya kesadaran dalam diri manusia bahwa hukum yang berasal dari Tuhan adalah bersifat tetap dan tegas sehingga keseimbangan dan keadilannya tetap terjaga. Demikian pula dengan kehidupan manusia. Apabila manusia bersungguh-sungguh menjadikan Al-Quran sebagai Al-Furqon (pembeda), keseimbangan dan harmonisasi dalam kehidupannya akan terpelihara. Jika demikian telah terlaksana, maka manusia akan menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup di dunia dan di akhirat.1
    Untuk itu, sangat diperlukan bagi kita untuk mengetahui bagaimana posisi diri –sebagai ciptaan tuhan- ketika disinggungkan dengan etika islam.
  2. Rumusan masalah
    Rumusan masalah yang dapat kami kemukakan diantaranya ialah:
    Bagaimanakah pengertian diri itu?
    Bagaimana fungsi diri sebagai sentra persona dalam pandangan etika islam?
    Bagaimana fungsi diri sebagai fungsi organisir dalam pandangan etika islam?
    Bagaimana fungsi diri dalam pengetian khusus dalam lingkup etika islam?
  3. Tujuan Penulisan
    Diantara tujuan penulisan ini adalah:
    Dapat mengidentifikasi tentang “diri”.
    Dapat mengambil posisi yang paling ideal dalam setiap keadaan.
    Dapat mengerti arti diri dalam etika islam.

BAB II

  1. PEMBAHASAN
    A. Pengertian diri
    Salah satu penentu dalam keberhasilan perkembangan adalah Konsep Diri. Pada kali ini saya akan menjabarkan bagaimana pentingnya konsep diri dalam kehidupan. Sebelumnya apa sih konsep diri itu? Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Para ahli psikologi kepribadian berusaha menjelaskan sifat dan fungsi dari konsep diri, sehingga terdapat beberapa pengertian.
    Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri memberi kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut.
    Manusia sebagai organisme yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan.
    Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan.
    Sebaliknya pandangan positif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan seseorang individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang mudah untuk diselesaikan. Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya.
    Konsep diri didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu.2
    Konsep diri merupakan penentu sikap individu dalam bertingkah laku, artinya apabila individu cenderung berpikir akan berhasil, maka hal ini merupakan kekuatan atau dorongan yang akan membuat individu menuju kesuksesan. Sebaliknya jika individu berpikir akan gagal, maka hal ini sama saja mempersiapkan kegagalan bagi dirinya.
    Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya. B. Diri sebagai sentra persona dalam pandangan etika islam
    Prinsip utama karakteristik islam adalah adanya kesadaran pada manusia bahwa standarisasi kebaikan dan keburukan selain melalui naluri dan akal, juga didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits. Selain itu perbuatan baik yang manusia lakukan, bukan semata-mata karena adanya hukum moral yang berlaku di lingkungan sosialnya, melainkan didasarkan dengan niatan karena Allah SWT. Sejauh mana ia dapat mengurainya pada sumber moral, kriteria yang diijadikan ukuran untuk menentukan baik atau buruknya tingkah laku, pandangannya terhadap akal dan naluri yang menjadi motif dan tujuan terakhir dari tingkah laku yang dihasilkan.3
    Aku (self) sebagai sentra persona atau sebagai pusat identitas pribadi, dimana aku (self) adalah sesuatu yang melakukan persepsi, memikir, merasa, menghendaki, mimpi dan menentukan. Berarti aku adalah sesuatu yang berada dalam diri kita sebagai pusat identitas. Mengapa demikian? Karena kita dapat merasakan unsur inti dalam diri kita yang dapat diberi nama: self, ego, agent, mind, knower, soul, spirit atau person. Kata-kata seperti pengalaman langsung (immadiate xperience) dan isi kesadaran (content of consciousness) mengandung arti adanya sesuatu yang mempunyai pengalaman, sesuatu yang memberikan kesatuan (unity).
    Padahal pandangan etika islam dalam kaitan konsep diri sebagai sentra persona selalu menggandengkan setiap aksi dan reaksi yang dilakukan oleh diri kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Berbeda dengan teori etika yang memandang bahwa akal dan nalurilah yang menjadi dasar menentukan baik atau buruknya moral, pandangan etika islam berpendirian sebagai berikut:
    Akal dan naluri adalah anugerah Allah.
    Akal dan pikiran manusia terbatas sehingga pengetahuan manusia-pun tidak akan mampu memecahkan semua masalah yang maujud di dunia ini.
    Naluri dan akal manusia harus mendapat pengarahan dan petunjuk Allah yang di jelaskan dalam kitab-Nya.
    Demikianlah kedudukan naluri dan akal dalam pandangan etika islam bahwa keduanya perlu dimanfaatkan dan disalurkan sebaik-baiknya dengan bimbingan dan pengarahan yang ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.4

C. Diri sebagai fungsi organisir
“Aku difahami dan dialami pada saat sekarang”. Aku adalah titik subyektif antara masa lalu dan masa mendatang. Manusia mempunyai kemampuan untuk membicarakan masa lampau yang dapat disimpan dalam ingatan. Manusia juga memiliki daya untuk melihat ke depan, kemampuan untuk merencanakan, menentukan cita-cita, dan sampai batas tertentu membentuk hari esok.
Hal ini tentunya diperoleh dari komunikasi dan interaksi yang dilakukan oleh diri tersebut. Akal dan naluri setelah berproses dengan sedemikiannya akan mengakibatkan terikatnya bagian lain dalam diri seseorang dalam mewujudkan fungsi organisir. Yaitu adalah jiwa.
Menurut At-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa melalui alat-alat tubuh. Berbagai ragam yang diperoleh oleh jiwa, seperti persoalan logika, fisika, matematika dan lain-lain, tidak terjadi campur baur dan dapat diingat dengan jelas. Tetntu hal ini tidak mungkin terdapat pada suatu substansi materil yang kapasitasnya terbatas. Oleh karena itu, jiwa adalah substansi immaterial.
Jiwa manusia ditandai dengan adanya akal yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal terbagi manjadi dua macam yaitu akal teoritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan suatu potensialitas yang perwujudannya mencakup empat tingkatan yakni akal material (‘aql hayyulani), akal malaikat (‘aql malaki), akal aktif (‘aql bi al-fi’l) dan akal yang diperoleh (‘aql mustafad). Pada tingkatan akal yang diperoleh, setiap bentuk konseptual yang terdapat dalam jiwa menjadi nyata terlihat seperti dalam cermin. Adapun akal praktis menyangkut perbuatan yang disengaja ataupun yang tidak disengaja. oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.
Dalam konteks kekinian, kita dapat merasakan kejutan-kejutan pemikiran yang seolah-olah begitu dasyat di tengah-tengah kesibukan kita saat mencari, melacak dan memahami konsep serta format modernisme dengan segala implikasinya. Kemudian muncul konsep postmodernisme yang konon lahir dari tuntutan zaman kekinian. Kondisi seperti ini memaksa para agamawan dan ideolog untuk senantiasa mengadakan reinterprestasi ideologis secara kritis sebagai upaya menjaga fungsi agama sebagai kritik sosial meski harus tampil dengan seribu wajah.5

D. Diri dalam pandangan khusus
Terakhir aku sebagai hal yang khusus (private), tidak ada seorangpun yang mampu merasakan aku-nya orang lain, aku tidak dapat mengganti kesadaran orang lain dengan kesadaranku. Kita tak dapat mengetahui secara sempurna apa yang dipikirkan oleh orang lain. Hanya sebatas merasa simpati, dan mengerti atau menunjukkan perasaan yang mendalam (empati). Watak aku yang khusus itu menjadikannya suatu kesatuan yang takkan menerima penyelidikan obyektif. Diri sebagai fungsi khusus merupakan produk dari adanya pertautan akal, hati dan lingkungan.
Sebagai manusia, ada unsur jasmani dan rohaninya; atau ada unsur fisik dan psikisnya; atau ada unsur raga dan jiwanya. Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotip dan genotip. Faktor genotip adalah faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotip). Faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar. Karakteristik yang khas dari seseorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan (genotip) dan faktor lingkungan yang saling berinteraksi terus-menerus.
Daya jiwa berpikir yang ada dalam otak manusia di kepala disebut akal, adapun yang ada pada hati (jantung) di dada disebut rasa (dzauqi). Karena itu ada dua sumber pengetahuan dalam islam yang menjadi faktor sebab adanya diri sebagai fungsi khusus yaitu pengetahuan akal (ma’rifat ‘aqliyah) dan pengetahuan hati (ma’rifat qolbiyah). Dan disini terdapat perbedaan kedudukan menurut ahli bidang masing-masing. Para filusuf mengunggulkan pengetahuan akal sedangkan para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa). Menurut para filusuf islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi atau akal perolehan (‘aql mustafad) ia dapat mengetahui kebahagiaan dan dapat memprolehnya. Akal yang demikian menjadika jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Akan tetapi jika akal mengenai kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).6
Hati yang dimaksud diatas bukanlah arti hati dalam pembahasan fisik (medis), namun hati yang dimaksud adalah arti yang halus (filter nurani), yaitu daya pikir jiwa yang ada pada hati dirongga dada. Dan daya pikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq) yang memperoleh sumber pengetahuan dari hati (makrifat qalbiyah). Allah SWT berfirman yang artinya:
“mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat allah)”
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa menurut para filusuf dan sufi islam, hakikat manusia itu adalah jiwa yang berfikir (nafs insaniyah). Dan kesimpulan lainnya adalah diri sebagai fungsi kusus itu ditentukan oleh keberadaannya dalam lingkungan dan kemampuan akal, nurani dan jiwanya dalam menyerap dan melaksanakan hasil penyerapannya tersebut.

BAB III
Kesimpulan
Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri memberi kerangka acuan yang mempengaruhi. Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri memberi kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut.
Jadi menurut pandangan etika islam, “aku” adalah manusia yang diciptakan Allah dari sebaik-baiknya ciptaan yang telah dibekali dengan akal, naluri, jiwa, hati dan alat identifikasi lain yang sedemikian sempurna. Jika kita mengenal siapa kita, maka kita akan bersyukur atas penciptaan kita kepada Allah. Namun sayang kebanyakan kita lupa hingga sedikit sekali kita bersyukur atas perlakuan Allah kepada kita. Kita adalah Manusia yang di ciptakan Allah dari air hina dan di beri potensi yang sangat luar biasa hingga kita derajatnya lebih tinggi di bandingkan makhluk ciptaan Allah lainnya.

Daftar Pustaka
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith & Richard T. Nolan. 1984. Pesoalan-persoalan Filsafat-Rasjidi.penerj. Jakarta: Bulan Bintang
Muhammad Alfan. Filsafat Etika Islam. Bandung: Penerbit Pustaka Setia 2009
Al-Zastrouw Ng. Reformasi Pemikiran. Jakarta: LKPSM 1998
Nawawi Abdul Azis. Alaikum Bissawadi A’dhom. Yogyakarta: Ponpes An Nur 2008
https://ranggaadr.wordpress.com/2015/01/02/manusia-sebagai-makhluk-individu-dan-makhluk-sosial/
http://belajarpsikologi.com/pengertian-konsep-diri/
http://muslimpolitan.com/2014/10/konsep-diri-seorang-mukmin/
http://buatmuslimin.blogspot.co.id/2012/08/kenali-diri-sendiri-konsep-jati-diri.html

admin
the authoradmin

Tinggalkan Balasan